Sabtu, 14 Mei 2011

Tata Gerak Liturgis


Tata Gerak Manusia
Sebagai Simbol Liturgi

Oleh: Rikardus Nsalu

1. Pengantar
            Dalam liturgi Gereja katolik selalu menggunakan simbol-simbol. Aneka simbol tersebut dirangkai dan sajikan sedemikian rupa sehingga umat bisa mengalami kehadiran Allah dalam berliturgi. Simbol yang digunakan dalam liturgi berupa barang/benda dan tata gerak umat yang berkumpul dalam merayakan liturgi. Melalui dan dalam simbol-simbol itu tersembunyi dan terungkap apa yang disimbolkan, yaitu realitas kehadiran Kristus yang menyelamatkan.[1] Simbol-simbol dalam liturgi Gereja katolik membantu umat dalam memahami misteri keselamatan sekaligus merupakan ungkapan iman umat yang merayakan liturgi. Oleh karena itu, simbol-simbol dalam liturgi menjadi sangat penting karena melalui simbol-simbol tersebut misteri Kristus ditampilkan dan dinyatakan kepada manusia. Simbol-simbol itu membantu umat untuk berjumpa dengan Allah. Simbol dalam liturgi Gereja katolik meliputi dua bentuk, yaitu tata gerak manusia dan benda/barang. Akan tetapi dalam paper ini penulis hanya menguraikan tata gerak manusia sebagai simbol liturgi. Itu berarti bahwa kehadiran umat dalam berliturgi sudah merupakan suatu simbol. Gerak perjumpaan orang-orang yang berkumpul dari berbagai kelompok, suku, tingkatan/status sosial, dan keluarga mengungkapkan tindakan Allah yang mempersatukan semua orang.[2]  Tulisan ini terdiri dari pengantar, mengenal dan memahami tata gerak manusia sebagai simbol liturgi, dan kesimpulan.
2. Mengenal dan Memahami Tata Gerak Manusia Sebagai
Simbol Liturgi
2.1. Berjalan
            Secara liturgis berjalan mengungkapkan hakikat umat Allah yang sedang berziarah dan bergerak menuju tanah air surgawi/tanah air sejati. Dalam liturgi berjalan selalu teratur dengan badan dan kepala tegak, tenang dan agung. Tindakan berjalan dalam perayaan liturgi biasanya dilakukan secara bersama-sama dalam suatu prosesi, misalnya perarakan masuk dan keluar gereja, perarakan persembahan, perarakan maju untuk menyambut komuni kudus, dan prosesi lainnya dalam perayaan liturgi. Prosesi itu menampilkan dimensi kebersamaan umat Allah yang sedang berziarah.[3] Berjalan juga bisa dipahami sebagai ungkapan kesiapsediaan kita untuk secara aktif menyambut dan menanggapi tawaran kasih karunia Allah yang selalu ada di depan kita.[4] Oleh karena itu, secara liturgis berjalan itu selalu bergerak maju bukan bergerak mundur atau menyamping.
2.2. Berdiri
            Berdiri merupakan sikap liturgi yang utama. Sikap ini diadopsi dari liturgi tradisi Yahudi (bdk. Mark 11:25; Luk 18:13; Kej 19:27; I Sam 1:26, I Raj 3:15). Berdiri merupakan ungkapan penghormatan kepada orang yang patut dihormati. Karena itu, umat hendaknya berdiri ketika pemimpin ibadat/perayaan ekaristi memasuki dan meninggalkan tempat ibadat. Dalam perayaan ekaristi/ibadat, umat berdiri ketika imam mendoakan doa pembuka, mendaraskan/menyanyikan Kemuliaan kepada Allah Tri Tunggal, mendengarkan Injil, mendaraskan doa Aku Percaya, doa umat, Prefasi dan Kudus, doa Bapa Kami, dan ketika imam mengucapkan doa sesudah komuni sebagai tanda syukur.
2.3. Duduk
            Duduk merupakan sikap tenang untuk mendengarkan sesuatu atau untuk menanti sesuatu ataupun untuk beristirahat. Dalam liturgi, sikap duduk melambangkan kesiapsediaan untuk mendengarkan Sabda Tuhan.[5] Bagi pemimpin ibadat resmi (uskup dan imam) sikap duduk tidak hanya mengungkapkan kesiapsediaan untuk mendengarkan Sabda Tuhan, tetapi juga mengungkapkan martabatnya sebagai seorang pemimpin dan pengajar atas nama Kristus. Dalam misa/ibadat, umat duduk ketika Kitab Suci dibacakan (selain Injil), pemimpin liturgi berkhotbah/homili/memberikan renungan, persiapan persembahan, dan petugas membacakan pengumuman.
2.4. Berlutut dan membungkuk
            Berlutut dan membungkuk merupakan dua hal yang berbeda tetapi keduanya mempunyai makna yang sama yaitu sikap merendahkan diri, menyadari kekecilan, dan kekerdilan di hadapan Tuhan. Berlutut dan membungkuk juga mau mengungkapan penghormatan, rasa segan, dan kerendahan hati kepada Allah dan pemimpin ibadat. Selain itu, sikap berlutut dan membungkuk mau mengungkapkan rasa pertobatan yang mendalam. Berlutut juga merupakan sikap tubuh pada saat doa pribadi: orang berlutut agar dapat bermeditasi dengan baik.[6] Dalam perayaan ekaristi umat berlutut ketika mengucapkan doa tobat, imam mendoakan kisah institusi (kisah perjamuan Tuhan) dalam Doa Syukur Agung, dan mempersiapkan diri sebelum menerima komuni suci. Menurut sejarah liturgi dan kulturnya sikap membungkuk lebih tua dibandingkandengan gerakan berlutut.[7] Dalam perayaan ekaristi/ibadat, umat membungkuk ketika mengucapkan: “Ia dikadung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia” (syahadat Necea Konstantinopel) atau “Yang dikandung dari Roh kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” (Syahadat Para Rasul), sebagai tanda ungkapan iman. Apabila tidak memungkinkan untuk berlutut maka umat hendaknya berdiri.
2.5. Meniarap
            Meniarap adalah kelanjutan tindakan berlutut dan membungkuk. Secara liturgis meniarap merupakan ungkapan penghormatan dan perendahan diri yang paling mendalam. Yang mau diungkapkan adalah kerendahan hati, kekecilan diri, dan penghormatan kepada Allah secara mendalam. Tindakan liturgi meniarap juga digunakan untuk menyampaikan suatu doa permohonan yang amat penting dan biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu sebagaimana dilakukan dalam liturgi tahbisan dan kaul kekal. Karena itu, meniarap  tidak pernah dilakukan oleh seluruh jemaat.
2.6. Tangan terkatup, terangkat, dan terentang[8]
            Dalam liturgi ketiga gerakan tangan ini mengungkapkan seluruh tindakan manusia. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa tangan merupakan alat utama bahasa tubuh. Gerakan tangan terkatup melambangkan perjumpaan antara Allah dengan manusia, sikap hormat, permohonan dan penyerahan diri manusia kepada Allah. Dalam perayaan ekaristi umat mengatupkan tangan di dada ketika akan menerima komuni yang melambangkan kesetiaan kepada Tuhan. Tangan terangkat dan terentang mengungkapkan ketakberdayaan kita, kekosongan dan kemiskinan diri kita. Sikap angkat tangan juga merupakan tanda menyerah, yakni penyerahan diri kepada Allah. Pada umumnya gerakan liturgis tangan terangkat dan terentang dilakukan oleh pemimpin liturgi.
2.7. Penumpangan tangan
Penumpangan tangan memiliki makna khusus dan mendalam dalam liturgi. Dalam Kitab Suci penumpangan tangan memiliki makna pengalihan/pelimpahan kepemilikan (Mzm 139:5), kesalahan (Im 16:21), tangggung jawab (Im 24:14), dan kuasa roh (Bil 27:18-23). Selain itu, penumpangan tangan juga melambangkan permohonan dan penganugerahan berkat (Kej 48:14-20). Dalam perjanjian baru penumpangan tangan menjadi ritus sakramental untuk pelimpahan/penganugerahan Roh Kudus (Kis 8:17) dan untuk pelimpahan wewenang atau kuasa (tahbiasan: Kis 6:6;13:3).[9] Jadi, dalam liturgi Gereja katolik penumpangan tangan dimaknai sebagai bentuk permohonan, pencurahan Roh Kudus, berkat, dan pelimpahan kuasa/wewenang kepemimpinan untuk tugas menggembalakan, mengajar dan menuduskan (khususnya dalam liturgi tahbisan).
2.8. Tanda salib dan berkat
Tanda salib merupakan gerakan satu tangan untuk membuat tanda salib pada diri sendiri ataupun untuk memberikan berrkat bagi orang lain. Pemberian berkat selalu dilakukan oleh seseorang (imam atau uskup) kepada seseorang atau sekelompok orang. Menurut tradisi liturgi tanda salib pertama-tama mengungkapkan dasar iman kristiani akan salib Kristus yang membawa penebusan dan keselamatan.[10] Dengan kata lain, tanda salib mau mengungkapkan bahwa kuasa salib Kristus mampu mengalahkan kuasa jahat dan setan. Dalam perayaan ekaristi/ibadat tanda salib dibuat ketika memasuki gereja sambil menandai diri dengan air suci yang ada di samping pintu masuk gereja, mengawali dan mengakiri perayaan ekaristi, menerima percikan air suci kalau dibuat sebagai pengganti pernyataan tobat, memulai bacaan Injil dengan membuat tanda salib pada dahi, mulut dan dada untuk mengungkapkan hasrat agar budi diterangi, mulut disanggupkan untuk mewartakan, dan hati diresapi oleh Sabda Tuhan.[11]
2.9. Menepuk dada
Menepuk dada merupakan simbol penyesalan diri dan pengakuan bahwa dirinya bersalah/berdosa seraya memohon pengampunan dari Allah. Menepuk dada juga merupakan simbol kerendahan hati di hadapan Tuhan. Hati adalah sumber dan tempat dosa berdiam, maka menepuk dada (letak hati) merupakan ekspresi lahiriah dari kesadaran akan diri yang berdosa.[12] Dalam perayaan ekaristi, menepuk dada dilakukan ketika mengucapkan kata-kata: “……saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa……” pada pernyataan tobat doa Saya Mengaku (ritus pembuka) sebagai tanda tobat dan penyesalan.
2.10. Ciuman dan Jabatan tangan
            Dalam budaya masyarakat tertentu ciuman merupakan simbol liturgi yang menunjukkan sikap penghormatan dan ikatan kasih persaudaraan yang erat dan mesra. Hal ini sudah dimulai dalam liturgi kekristenan awali. Ciuman juga dilakukan oleh pemimpin litrugi (diakon, imam, uskup), yaitu mencium altar pada awal dan akhir perayaan ekaristi/ibadat. Akhir-akhir ini ciuman (mencium pipi) bisa diganti dengan jabatan tangan walaupun masih banyak yang saling mencium sebagai tanda persaudaraan.
2.11. Pembasuhan tangan
            Dalam liturgi, pembasuhan tangan merupakan simbol pembersihan diri dari dosa. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan kuno yang mengatakan bahwa dosa datang melalui sentuhan tangan. Oleh karena itu, tangan manusia harus dibersihkan setelah menyentuh sesuatu.

3. Kesimpulan
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan manusia merupakan suatu simbol liturgi. Karena itu,  kehadiran manusia dalam berliturgi merupakan suatu simbol yang memberikan warna khusus dalam liturgi Gereja Katolik. Kiranya melalui tulisan ini bisa membantu umat beriman untuk semakin menyadari bahwa tata gerak dalam berliturgi sangat membantu untuk bersatu dengan Allah. Karena simbol-simbol dalam liturgi mampu menghadirkan misteri Kristus yang menyelamatkan umat manusia.


Daftar Pustaka
Martasudjita, E., Memahami Simbol-Simbol Dalam Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Martimort, A. G., Liturgi: Gereja Merayakan Yesus Kristus-Suatu Pengantar Liturgi, Jogyakarta: Komisi Liturgi KWI, 1990.

Pasi, Gregorius, Pelajaran Liturgi Untuk Postulan & Novis SMM (diktat), Ruteng: Novisiat Montfortan, 2008. 

Suryanugraha, Simbol Liturgik: Benda, Aksi dan Ekspresi, dalam MelintasNo. 43 April 1998.



[1] E. Martasudjita, Memahami Simbol-Simbol Dalam Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 11.
[2] Ibid., hlm. 14.
[3] Bdk. E. Martasudjita, hlm. 19.
[4] E. Martasudjita, hlm. 19-20.
[5] E. Martasudjita, hlm. 21.
[6] A. G. Martimort, Liturgi: Gereja Merayakan Yesus Kristus-Suatu Pengantar Liturgi, Jogyakarta: Komisi Liturgi KWI, 1990, hlm. 111.
[7] Bdk. E. Martasudjita, hlm. 22-23.
[8] Bdk. E. Martasudjita, hlm. 24.
[9] E. Martasudjita, hlm. 26.
[10] Ibid.,
[11] Gregorius Pasi, SMM, Pelajaran Liturgi Untuk Postulan & Novis SMM (diktata), Ruteng: Novisiat Montfortan, 2008, hlm. 20. 
[12] Suryanugraha, Simbol Liturgik: Benda, Aksi dan Ekspresi, dalam MelintasNo. 43 April 1998, hlm. 14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar