Perwujudan Nostra Aetate dalam Gereja Indonesia
I. Pengantar
Gereja universal telah merancang perspektif baru dalam membangun relasi dengan agama-agama lain melalui momentum Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menjadi salah satu momen penting kebangkitan semangat beragama inklusif dalam membangun persaudaraan universal dalam abad modern. Dekrit penting dalam Konsili Vatikan II yang menandai sikap Gereja terhadap agama-agama lain di dunia adalah Nostrae Aetate. Dekrit ini secara khusus berbicara tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen. Gereja dalam dalam dekrit Nostra Aetate menandaskan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang”.[1]
Melalui dekrit Nostra Aetate Gereja telah menggagas babak baru sejarah pengakuan realitas pluralisme religius dan ingin membuka diri terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-kristen. Dalam konteks Gereja Indonesia, hal yang paling mendesak adalah bagaimana kita membangun jembatan yang kokoh untuk menghubungkan “perbedaan” antar agama menuju persaudaraan nasional yang kokoh. Salah satu gagasan paling relevan adalah melalui dialog antar-umat beragama. Melalui dialog ini kiranya dapat bermanfaat bagi pemulihan dan perwujudan hubungan antar agama yang kerapkali dilanda oleh berbagai konflik.
2. Realitas Konflik Antar-Agama di Indonesia
Bangsa Indonesia memiliki kemajemukan dari segi agama, dan kemajemukan ini telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akan tetapi, kemajemukan agama ini kerapkali membawa situasi yang paradoks. Di satu pihak, kemajemukan agama mengharuskan umat beragama untuk menghargai pemeluk agama-agama lain dalam kedudukan yang setara. Dan di lain pihak, kemajemukan agama itu justru menimbulkan hubungan yang tidak harmonis yang berujung pada konflik. Dewasa ini, ada banyak persoalan krusial yang bermunculan di tengah kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dalam konteks negara kita, konflik yang diwarnai oleh tindakan kerusuhan dan kekerasan menjadi suatu kenyataan yang lumrah. Masih tercatat dalam benak kita pelbagai kerusuhan seperti kerusuhan Kupang, Ambon, Sambas, insiden Monas 1 Juni 2008, pembakaran dan perusakan tempat ibadah jemaat Ahmadiah, penyerangan dan Penghancuran Gereja Kristen Pasundan di Citeureup-Bandung, demo menuntut penutupan Gereja Katolik Damai Kristus, penutupan paksa akses jalan Sekolah Sang Timur-Ciledug, dan lain-lain. Konflik-konflik tersebut telah memakan korban cukup banyak baik materi maupun jiwa manusia. Pelbagai kekerasan juga telah menimbulkan penderitaan psikologis seperti shock, takut, cemas, perasaan traumatis yang menghinggapi masyarakat.
Menghadapi pelbagai konflik di atas, tepat bila diupayakan terselenggaranya dialog antar umat beragama yang dimulai antara para tokoh-tokoh agama dengan pemerintah maupun tokoh-tokoh agama dengan masyarakat. Mengapa dialog sangat ditekankan dalam membina kerukunan di antara umat beragama? Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi pelegitimasian adanya dialog antara umat beragama. Beberapa alasan itu antara lain; Pertama, dialog merupakan titik simpul dari semua pembahasan tentang membangun kerukunan di antara umat beragama. Dialog menjadi media pertukaran ide, informasi, dan pengetahuan tentang agama satu sama lain. Dialog juga membantu kita dalam proses transaksi nilai-nilai religius yang mengacu pada pembentukan dan penumbuhan semangat bersama. Melalui dialog, kita diajak untuk melihat kehidupan dalam wawasan yang lebih luas, perspektif yang semakin variatif, dan persoalan-persoalan yang mendesak yang mesti harus diatasi.[2] Kedua, dengan dialog, umat kristiani dan umat lain diundang untuk memperdalam komitmen religiusnya agar menanggapi panggilan personalnya dengan semakin tulus dan hormat akan yang lain.[3]
3. Tantangan dan Peluang dalam Dialog Antar Agama
Upaya umat kristiani untuk membagun dialog dengan umat beragama lain bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Umat kristiani tentu saja dihadapkan pada pelbagai hambatan yang memungkinkan dialog tidak dapat berjalan dengan baik. Hambatan-hambatan itu bisa jadi berupa prasangka, penolakan atau dendam akan konflik masa silam yang belum tersembuhkan dari lubuk hati umat beragama lain. Misalnya antara umat katolik dan muslim. Dari kalangan Katolik masih tersimpan prasangka atau perasaan takut ketika mereka hidup di daerah mayoritas umat beragama muslim dan diperlakukan dengan tidak adil. Sedangakan dari kalangan Islam, Mohhammad Fajrul Fallaakh memberikan kesaksian bahwa “dikalangan kaum muslim sendiri terdapat keraguan terhadap manfaat dialog tersebut, misalnya karena penilaian bahwa dialog dapat mengganggu iman, memungkinkan pelaku dialog menganut sinkretisme dalam berteologi...”.[4]
Meski pun banyak hambatan yang ditemukan oleh umat kristiani dalam upayanya membangun dialog dengan umat beragama lain, setidaknya ada beberapa peluang yang memungkinkan dialog terjadi. Pertama kesadaran Gereja Katolik akan sejarah kelam yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Sejarah kelam tersebut berupa superioritas Gereja Katolik yang menempatkan diri sebagai satu-satunya agama yang membawa keselamatan. Selain itu, konflik antara Kristen dan islam secara besar-besaran seperti Perang Salib. Kedua sejarah kelam ini membawa umat kristiani kepada suatu kesadaran baru dengan mengajak umat Kristiani maupun umat beragama lain untuk melupakan masa lampau yang suram karena dianggap sebagai beban sejarah yang merusakkan hubungan yang terbuka dan saling menerima.[5] Kedua, antara agama katolik dan agama-agama yang lainnya mengandung unsur-unsur kebenaran tertentu yang perlu diyakini dan diterima oleh penganut agama manapun. Selain itu, antara agama katolik dan agama-agama yang lainnya memiliki kesamaan sejumlah unsur pokok. Misalnya antara Islam dan Katolik. Keduanya merupakan agama Ibrahim, mewarisi tradisi ethical monotheism, merupakan agama wahyu dengan rasul dan kitab suci masing-masing, sedangkan dengan rasul dan kitab suci itu menempatkan keduanya sebagai agama historis.[6]
4. Syarat-syarat Dialog
Apa pun metode, bentuk, wadah, subjek, tujuan dari “dialog”, sesungguhnya bukan persoalan sepele. Kita perlu memiliki sejumlah syarat agar dialog bisa menyentuh maksud paling dalam yaitu kerukunan hidup. Beberapa syarat penting sebelum kita memasuki arena dialog antara lain: Pertama, keterbukaan. Artinya masing-masing peserta dengan terbuka mendengarkan kebenaran-kebenaran iman dari pihak lain seraya menyampaikan kebenaran-kebenaran yang diyakininya dengan terbuka.
Kedua, dialog harus didasarkan pada kebebasan inklusif, dalam arti penerimaan yang jujur dan dewasa terhadap agama yang lainnya.[7] Proses dialog yang jujur akan memunculkan agama yang umatnya mampu menertibkan soal-soal rawan yang bersentuhan dengan sentimen agama.
Ketiga, dialog harus mengarahkan setiap orang untuk menjalin semangat persaudaraan yang sejati yang terungkap dalam kehidupan praktis seperti saling berkunjung, saling memberi salam dan memberikan ”parsel’’ pada setiap hari raya keagamaan. Dalam konteks ini, dialog itu harus mengatasi keberadaanya.
5. Bentuk-Bentuk Dialog
Dialog dengan umat beragama lain secara khusus di Indonesia sangat relevan di mana sampai dewasa ini pelbagai pertentangan maupun kekerasan yang bernuansa “agama’’ masih sangat kuat mewarnai situasi hidup dan tingkah laku masyarakat Indonesia. Dialog yang hendak dibangun dalam membina dan membangun semangat kerukunan hidup beragama bukan sebatas pada diskusi tetapi saling mendengarkan, saling memberi dan menerima, mencari dan belajar untuk semakin memahami, memperdalam dan memperkaya satu sama lain. Sidang Para Uskup se-Asia(FABC) menyebutkan bahwa dialog antarumat beragama, mempunyai empat dimensi perwujudan,[8] yakni:
Pertama, dialog kehidupan. Setiap penganut agama berjuang untuk membangun hidup bersama sebagai tetangga secara damai dan dengan saling membantu dalam mengatasi pelbagai persoalan. Segala kesusahan dan kesulitan masyarakat adalah bagian dari kehidupan Gereja. Karena itu, umat Kristiani terpanggil untuk membantu masyarakat keluar dari persoalannya bahkan lebih dari itu kita perlu membangun persaudaraan sejati. Bangsa Indonesia sedang dilanda krisis. Krisis yang paling terasa dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah krisis ekonomi yang menyebabkan masyarakat kecil kekurangan sandang, pangan dan papan. Dalam kondisi seperti ini, Bapak Uskup mengajak para Imam dan segenap umatnya untuk terlibat meringankan beban penderitaan masyarakat kecil. Maka melalui kerja sama dengan masyarakat, umat Kristiani baik pada tingkat Keuskupan, Paroki, maupun lingkungan menggalakkan berbagai kegiatan sosial seperti kegiatan membagi sembako, pengobatan gratis maupun mengirimkan bantuan untuk korban bencana alam. Kegiatan-kegiatan sosial seperti ini merupakan salah satu upaya Gereja Katolik Indonesia untuk terus membangun relasi yang harmonis dengan pemeluk beragama lain.
Kedua, dialog tindakan. Setiap pemeluk agama bekerja sama untuk mengusahakan keadilan dan perdamaian. Salah satu bentuk kerja sama konkret antara Gereja Katolik dengan pemuka agama lainnnya setidaknya bisa dilihat dari usaha-usaha untuk menyerukan perdamaian. Usaha perdamaian ini terungkap dalam surat Gembala yang dibuat oleh KWI dan PGI tahun 2001 dengan tema, “Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain” (Bdk. 1 Tes 5:13b) dan kemudian diulangi pada surat Gembala Prapaska 2002 oleh KWI dengan tema, “Rekonsiliasi Membawa Damai”.[9]
Ketiga, dialog pengalaman Religius. Dialog antara orang yang berakar secara mendalam dalam tradisi religius mereka dan berusaha untuk mensharingkan pengalaman religius itu untuk saling memperkaya. Salah satu wujud konkret Gereja Katolik dalam mensharingkan pengalaman iman kepada umat lain adalah melalui kegiatan Natal bersama. Kegiatan ini secara implisit memperlihatkan upaya umat Kristini untuk menyebarkan iman dan tradisi religiusnya kepada umat lain melalui acara/kegiatan yang mereka tampilkan. Secara personal, umat Kristiani juga memperlihatkan imannya kepada umat lain dengan cara menghargai setiap praktek religius agama lain. Bentuk penghargaan itu terletak pada kesadaran umat Kristiani untuk menghargai umat lain yang sedang menjalankan ibadatnya atau memberikan karya amal misalnya memberikan sedekah kepada tetangga yang berkekurangan.
Keempat, dialog teologis. Ahli bertukar pikiran untuk mengerti dengan lebih baik warisan rohani dan nilai-nilai dari tradisi mereka masing-masing. Dialog teologis pertama-tama bukan untuk mencari kebenaran teologis dari suatu agama tetapi untuk saling memperkaya. Dengan bertukar pikiran dengan para tokoh agama lain, umat kristiani dapat menerima unsur baik dan positif dari warisan rohani agama lain yang bisa dimasukan ke dalam penghayatan iman Kristen sebagai unsur baru yang memperkaya. Di Negara Indonesia terdapat beberapa tokoh terkenal yang mencoba untuk menggali kekayaan teologi maupun warisan spiritual dari masing-masing agama. Mereka adalah almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya, Romo I.Sandiawan, Romo Ismartono, Romo Benny Susetyo[10] dan dari kalangan Islam adalah almarhum Gus Dur.
6. Penutup
Gereja terpanggil untuk ikut mengusahakan pembinaan hidup beragama yang lebih terbuka dan berwawasan luas, guna mengatasi ketegangan/konflik antar umat beragama. Bentuk dialog dan kerja sama dengan motivasi keinginan untuk saling memperkaya, kerja sama untuk membangun masyarakat baru yang lebih sejahtera, lebih manusiawi harus tetap diperjuangkan. Konsili mengajak anggota Gereja untuk masuk ke dalam dialog dengan pemeluk-pemeluk agama lain. Ajakan tersebut ditemukan dalam dekrit Nostra Aetate yang mengatakan:
“Gereja mendorong para putranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosial budaya, yang terdapat pada mereka”.[11]
Dalam dekrit tersebut tersirat makna bahwa umat kristiani sebagai anggota Gereja dipanggil untuk berdialog. Semangat dialog, kerja sama, serta kesaksian hidup di tengah penganut agama lain dapat diungkapkan dengan membina kerukunan di antara umat beragama, menghargai setiap perbedaan, saling mengasihi dan saling memahami, menciptakan perdamaian, membantu orang yang menderita tanpa memandang latar belakang agama. Dengan menampilkan sikap dialog, kerja sama dan kesaksian hidup maka segala bentuk fundamentalisme dan persaingan tidak sehat dapat teratasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Benedanto, Ignatius Haryanto Pax Terbuka Terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Dekrit Nostra Aetate Art. 2 (Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Terj. R.Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi Dan Penerangan KWI-Obor, 1993
Falaakh, Mohammad Fajrul. “Gereja Katolik Sebagai Pesaing dalam Kebajikan ” dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II:Refleksi dan Tantangannya. Yogyakarta: Kanisius 1997.
Regus, Max Republik Sialan: Memburu Kejernihan di Tengah Belantara Kerancuan. Maumere: Ledalero. 2003.
Widiyono, A. Nugroho “Dialog Antar-Agama dengan Immersion: Dari Perjumpaan Menuju Kerjasama”, dalam Orientasi Baru (Jurnal Filsafat dan Teologi Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma) Vol. 15, No.1-2, Okober 2006.
[1]Dekrit Nostra Aetate Art. 2 (Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Terj. R.Hardawiryana, (Jakarta: Dokumentasi Dan Penerangan KWI-Obor, 1993). Selanjutnya untuk kutipan dekrit ini disingkat NA.
[2]Max Regus, Republik Sialan: Memburu Kejernihan di Tengah Belantara Kerancuan, (Maumere:Ledalero, 2003), hlm. 213.
[3]A. Nugroho Widiyono, “Dialog Antar-Agama dengan Immersion: Dari Perjumpaan Menuju Kerjasama”, dalam Orientasi Baru (Jurnal Filsafat dan Teologi Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Vol. 15, No.1-2, Okober 2006, hlm. 22.
[4]Mohammad Fajrul Falaakh, “Gereja Katolik Sebagai Pesaing dalam Kebajikan” dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II:Refleksi dan Tantangannya, (Yogyakarta: Kanisius 1997), hlm. 365.
[5]Bdk. NA 3.
[6]Mohammad Fajrul Falaakh, Op.Cit., hlm. 366.
[7]Max Regus, Op.Cit., hlm. 197.
[8]Ignatius Haryanto Pax Benedanto, Terbuka Terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 25-26.
[9] Ibid, hlm. 65-66.
[10] Ignatius Haryanto Pax Benedanto, Op.Cit., hlm. 36.
[11] NA 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar