Kejahatan Menurut Thomas Aquinas
Perbuatan manusia selalu terarah kepada kebaikan. Ia tidak pernah dengan sengaja melakukan kejahatan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa begitu banyak manusia melakukan kejahatan. Misalnya pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, terorisme, penipuan, perampokan, dan sebagainya. Bahkan, ada sebagian orang yang “sudah beruban” dalam melakukan perbuatan jahat. Lantas muncul pertanyaan: jika perbuatan manusia itu selalu terarah kepada kebaikan, mengapa manusia melakukan perbuatan jahat?
Sebelum kita menelaah konsep kejahatan menurut Thomas Aquinas (1225-1274), terlebih dahulu kita melihat konsep kejahatan dua orang filosof Yunani kuno, yaitu Socrates dan Aristoteles. Sebab, kedua tokoh ini (khususnya Aristoteles) merupakan fondasi pemikiran Aquinas. Menurut Socrates, “Tak seorangpun yang menginginkan kejahatan” (Meno, 78a-b; cf. Gorgias 466a4-481b5; Protagoras 352a1-357e8). Dalam pemikiran Socrates, manusia tidak mempunyai kebebasan untuk melakukan kejahatan, karena voluntas (kehendak bebas) digerakkan oleh kebutuhan akan keinginan dan pencapaian kebaikan.
Aristoteles mungkin sependapat dengan Socrates bahwa tak seorang pun menginginkan kejahatan. Tetapi, tidak berarti bahwa seseorang tidak dapat melakukan kejahatan dengan sengaja. Dalam buku Nicomachean Ethics, Aritoteles mengatakan, “seseorang bisa berbuat jahat dengan sengaja apabila kejahatan menjadi miliknya” (EN 1110a1). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tentu saja setiap orang jahat tidak sadar akan perbuatan jahat yang dilakukannya. Tetapi kalau perbuatan itu terus dilakukannya, maka ia melakukan ketidakadilan (EN 1110a29). Apa yang menyenangkan atau yang baik tidak pernah merupakan perbuatan yang tanpa disengaja (EN 1110b20). Ketidaktahuan berarti kekurangan pengetahuan seseorang tentang apa yang dilakukannya. Setiap perbuatan yang dilakukan dalam ketidaktahuan, tetapi tidak disebabkan oleh ketidaktahuan belum tentu dilakukan dengan sengaja (EN 1110b25). Dalam pemikiran Aristoteles, kejahatan dalam dirinya sendiri tidak bisa menjadi objek pilihan bebas demi kebaikan dan tujuan akhir perbuatan manusia (EN 1094a3). Namun, seseorang bisa melakukan hal yang jahat secara sengaja ketika tindakan yang dilakukan menjadi miliknya sendiri.
Sementara menurut Thomas Aquinas, manusia bisa melakukan perbuatan yang jahat karena ia memiliki voluntas (kehendak bebas). Voluntas inilah yang memungkinkan manusia untuk memilih bertindak, melakukan perbuatan yang baik atau yang jahat. Akan tetapi, voluntas harus dibarengi dengan akal budi. Voluntas dan akal budi ini membuat manusia dapat menentukan dirinya dan melakukan apa yang dikehendakinya serta memberikan arti dan keterarahan kepada hidupnya. Ia bisa menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan kepadanya. Kebebasan dalam keterkaitannya dengan kemampuan untuk menentukan diri sendiri dimaknai sebagai kebebasan eksistensial. Sebab kebebasan tersebut melekat pada eksistensi manusia.
Menurut Aquinas, kejahatan merupakan ketidak-terarahan perbuatan manusia kepada yang baik (kebaikan). Lebih lanjut ia mengatakan, “gerakan voluntas harus dilihat dalam hubungannya dengan objek, yang mana objek tersebut menentukan tindakan voluntas untuk melakukan ini atau melakukan itu; voluntas tidak dilihat semata-mata hanya menggerakkan manusia ke arah yang baik dan menghindar dari yang buruk” (De Malo, 420). Voluntas itu terbuka pada hal yang jahat dan yang baik. Itulah kebebasan manusia. “Jika manusia tidak mempunyai kebebasan utntuk bertindak, maka perbuatannya itu tidak bisa dinilai secara moral” (De Malo, 290). Kita dapat secara bebas melakukan apa yang baik dan yang jahat karena memiliki voluntas.
Selain itu, Aquinas juga mengatakan bahwa kejahatan bukan berasal dari Allah. Hal ini mau menjawab persoalan yang sering dilontarkan oleh banyak orang tentang misteri kejahatan dalam kaitannya dengan konsep Allah sebagai Mahacinta. “Jika Tuhan ada, mengapa ada kejahatan?” Epicuros (342-270 SM) mengatakan, “Atau Tuhan mau menyingkirkan kejahatan tetapi Ia tidak mampu; atau Ia mampu, tetapi tidak mau; atau Ia tidak mau dan juga tidak mampu; atau mampu dan juga mau. Jika Ia mau dan tidak mampu, Ia lemah, yang berarti tidak sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Ia mampu dan tidak mau, Ia jahat yang berarti juga tidak sesuai dengan sifat-Nya; jika Ia tidak mampu dan juga tidak mau, Ia jahat sekaligus lemah, berarti Ia bukanlah Tuhan; jika Tuhan mau dan mampu, yang merupakan ciri paling cocok untuk-Nya, dari manakah asal semua kejahatan? Atau mengapa Ia tidak menyingkirkan kejahatan tersebut?” (Ahern, The Problem of Evil, 1971). Dalam pemikiran Aquinas, Allah dan kejahatan merupakan dua kekuatan yang saling bertolak belakang (Summa Theologica, I,49,1-3). Allah adalah kekuatan CINTA, sementara kejahatan adalah kekuatan buruk. Konsekuensinya, kejahatan bukan berasal dari kebaikan. Juga kebaikan bukan berasal dari kejahatan. Selain itu, menurut Aquinas, kejahatan bukan berasal dari suatu kekuatan mahajahat. Jika kejahatan berasal dari suatu kekuatan yang mahajahat, maka ia akan menghancurkan dirinya sendiri. Sebuah kejahatan yang berasal dari kejahatan yang mahajahat akan mengarah kepada pengahancuran/pembinasaan diri yang total. Maka, kejahatan merupakan suasana ketiadaan kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar