Sabtu, 14 Mei 2011

Kehadiran Kristus Dalam Ekaristi


Kehadiran Kristus Dalam Ekaristi
(Tinjauan Berdasarkan Sacrosanctum Concilium No. 7)

1.    Pengantar
            Berbicara tentang Ekaristi, tidak bisa terlepas dari berbicara tentang kehadiran Kristus di dalamnya. Karena dalam perayaan Ekaristi kita mengenang kembali wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus yang menyelamatkan umat manusia. Dalam paper ini, penulis akan mengulas tentang kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi berdasarkan dokumen Sacrosanctum Conciliium[1] nomor 7. Paper ini terdiri dari pengantar singkat, sekilas pemahaman tentang Ekaristi, kehadiran Kristus dalam Ekaristi, dan kesimpulan.
2. Sekitar Sejarah dan Teologi Ekaristi[2]
            Secara etimologis kata Ekaristi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata eucharistia yang artinya puji syukur. Dari arti etimologis ini nampak jelas bahwa inti pokok perayaan Ekaristi adalah puji syukur Gereja kepada Allah yang telah mengutus Putera-Nya untuk menebus dosa umat manusia sekaligus puji syukur Gereja bersama Kristus dalam penyerahan-Nya kepada Bapa. Gereja merayakan Ekaristi untuk mengenang wafat dan kebangkitan Kristus. Gereja merayakan Ekaristi bukan karena keinginan Paus, Uskup, atau para Imam, tetapi karena memang diperintahkan oleh Tuhan Yesus pada perjamuan malam terakhir (Mat 26:26-29; Mrk 14:22-25; Luk 22:14-20). Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Ekaristi ditetapkan oleh Tuhan Yesus pada perjamuan malam terakhir bersama para murid-Nya. Tetapi, perjamuan malam terakhir bukanlah perayaan Ekaristi pertama yang dilakukan oleh Gereja, karena pada dasarnya Ekaristi itu merayakan wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus. Pada perjamuan malam terakhir, Yesus belum wafat dan bangkit.
Pada beberapa abad awali, bentuk dasar perayaan Ekaristi terdiri dari Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dan baru pada abad IV-VI ditambahkan beberapa ritus sehingga memperoleh bentuknya yang lengkap dalam Misa Trente kemudian diperbaharui lagi dalam Missale Romanum 1970 dan akhirnya lahirlah Tata Perayaan Ekaristi baru yang kita kenal sekarang. Pada abad III, bahasa Latin mulai digunakan dalam liturgi Gereja Barat; dan pada abad IV Paus Damasus memberlakukan bahasa Latin sebagai bahasa resmi dalam liturgi. Pada Konsili Vatikan II penggunaan bahasa pribumi diperkenankan dalam liturgi Gereja. Hakikat perayaan Ekaristi adalah perayaan komunal (bersama). Lalu apakah imam yang merayakan Ekaristi sendirian dipandang sah? Ekaristi jelas bersifat komunal, tetapi juga bersifat personal. Hanya saja, dalam hal ini personal tidak sama dengan individual. Orang secara pribadi menyerahkan diri bersama Kristus, tetapi dalam kesatuan dengan orang beriman yang lain. Kalau seorang imam merayakan Ekaristi sendirian, itu memang sah tetapi tidak sangat baik. Imam diangkat menjadi pemimpin umat. Karena itu, kalau dia merayakan Ekaristi hendaknya sedapat mungkin bersama dengan umat.[3]
3. Kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi
Dalam dokumen Sacrosanctum Concilium (SC) nomor 7 dikatakan, “Ia (Kristus) hadir dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan, karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan diri di kayu salib, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis. Ia hadir dalam sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja. Akhirnya Ia hadir sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: Bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di tengah mereka (Mat 18:20). Pernyataan Sacrasanctum Concilium di atas dapat diringkas sebagai berikut: Kristus hadir dalam Ekaristi melalui imam/uskup yang memimpin Ekaristi, umat yang hadir merayakan Ekaristi, Sabda Allah yang dibacakan, serta dalam rupa roti dan anggur.
3.1. Imam/Uskup Yang Memimpin Ekaristi
            Pada dasarnya yang merayakan Ekaristi adalah umat termasuk imam/uskup. Imam adalah wakil dari umat yang oleh karena menerima tahbisan suci menjadi pembicara dengan Allah dalam perayaan Ekaristi. Dalam Gereja katolik, hanya orang yang tertahbis yang mempunyai kuasa untuk memimpin perayaan Ekaristi. Dan kepemimpinan dalam merayakan Ekaristi bukan kuasa atau fungsi yang dimiliki sendiri, melainkan aspek liturgis dari tugas kepemimpinan umum.[4]
Dalam buku Pedoman Umum Misale Romawi nomor 33 dikatakan, “Sebagai pemimpin, imam/uskup melambungkan doa-doa atas nama Gereja dan jemaat yang berhimpun. Tetapi kadang-kadang ia berdoa juga untuk dirinya sendiri supaya dapat melaksanakan tugasnya dengan hikmat dan penuh perhatian. Doa-doa pribadi semacam itu yakni doa sebelum pemakluman Injil, doa persiapan persembahan, dan doa sebelum dan sesudah komuni imam, dia ucapkan dalam hati.[5] Di sini imam mengetuai umat yang berhimpun, memimpin mereka dalam doa, mewartakan kabar keselamatan, dan mengajak mereka agar bersama dengannya mempersembahkan kurban kepada Allah dengan perantaraan Kristus dalam Roh Kudus. Namun fungsi kepemimpinan seorang imam menjangkau lebih jauh. Dia jauh lebih daripada sekedar pemimpin upacara/perayaan ataupun pengucap doa. Dia adalah wakil Kristus yang demi kita melaksanakan fungsi imamatnya dalam liturgi melalui tindakan Roh Kudus. Melalui pelayanan Sabda, imam menjadi pelayan iman yang membawa manusia kepada Kristus. Dan imam melaksanakan fungsi imamatnya demi jemaat dalam perayaan sakramen-sakramen.[6]
3.2. Umat yang hadir[7]
            Seturut hakikatnya, Ekaristi merupakan perayaan jemaat. Oleh karena itu, sangat pentinglah dialog antara pemimpin dan umat yang berhimpun, begitu juga aklamasi-aklamasi sangat besar artinya. Semua itu bukan hanya tanda lahiriah perayaan bersama, melainkan juga sarana untuk membina dan memperdalam kesatuan antara imam dan umat. Aklamasi dan jawaban-jawaban umat terhadap salam dan doa-doa imam menciptakan tingkat pastisipasi aktif yang harus ditunjukkan jemaat dalam setiap bentuk misa.
            Umat beriman yang merayakan misa merupakan umat kudus, umat yang dipilih Allah dan dianugerahi martabat imam dan raja. Mereka berkumpul untuk mengucap syukur dan mempersembahkan kurban murni kepada Allah tidak hanya dengan perantaraan tangan imam, melainkan juga bersama dengan imam; mereka pun belajar mempersembahkan diri. Hendaknya mereka berusaha untuk menyatakan hal itu baik dalam sikap takwa yang mendalam, maupun dalam tindakan cinta kasih terhadap saudara-saudara yang mengikuti perayaan yang sama. Oleh karena itu, mereka hendaknya menjauhkan segala sikap mementingkan diri sendiri dan perpecahan. Mereka harus sadar bahwa mereka semua mempunyai satu Bapa di surga, sehingga seluruh umat itu bersaudara satu sama lain.
            Hendaknya mereka merupakan satu tubuh dalam mendengarkan Sabda Allah maupun dalam berdoa dan bernyanyi. Terutama mereka harus satu tubuh dalam mempersembahkan kurban dan dalam menyambut hidangan dari meja Tuhan. Kesatuan itu tampil indah, baik bila semua mengambil sikap tubuh yang sama, maupun bila mereka melaksanakan tata gerak yang sama. Hendaknya umat beriman dengan senang hati melayani umat Allah untuk melakukan pelayanan atau tugas khusus dalam perayaan. Dalam arti rohani, umat yang berhimpun dalam merayakan Ekaristi melambangkan kehadiran Kritus. Hal ini sangat jelas melalui sabda-Nya, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Yesus hadir dalam dan melalui umat yang berkumpul.
3.3. Sabda Allah yang dibacakan
            Sabda Allah yang dibacakan dalam perayaan Ekaristi adalah tanda kehadiran Allah juga karena Sabda itu adalah Sabda Allah sendiri. Allah hadir dalam perayaan Ekaristi melalui Sabda-Nya yang menyapa umat beriman. Settiap kali Sabda Allah diwartakan, Kristus hadir di tengah umat-Nya “dalam sabdaNya”, dalam tanda yang paling rohani dari segala tanda yang digunakan dalam liturgi.[8] Karena itu, dalam perayaan Ekaristi wajib membacakan  Kitab Suci. Karena liturgi pada hakikatnya suatu perayaan yang sepenuhnya bersumber pada Sabda Allah.[9] Patut disadari bahwa Sabda Allah itu sering kali sulit dimengerti oleh umat beriman. Karena itu, Sabda Allah yang dibacakan menjadi sangat jelas maknanya melalui khotbah atau homili yang disampaikan oleh pemimpin Ekaristi. Untuk misa hari Minggu dan hari-hari Raya diwajibkan memberi khotbah/homili sesuai dengan latar belakang dan konteks sosial umat.
3.4. Roti dan Anggur
Latar belakang penggunaan roti dan anggur dalam Ekaristi diambil dari kebudayaan masyarakat Timur Tengah Purba. Roti dan anggur merupakan makanan dan minuman pokok masyarakat Timur Tengah Purba. Pada perjamuan malam terakhir Tuhan Yesus menggunakan roti dan anggur sebagai makanan dan minuman. Jadi, penggunaan roti dan anggur dalam liturgi Kristiani, memang sudah menjadi baku karena berkaitan dengan penetapan Ekaristi oleh Tuhan sendiri.[10] Memang perjamuan malam terakhir bukanlah perayaan Ekaristi, sebab perayaan Ekaristi merupakan perayaan kenangan akan wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus. Pada saat perjamuan terakhir Yesus masih hidup dan belum menderita sengsara. Selain sebagai makanan dan minuman jasmani, roti dan anggur juga diberi makna rohani, yaitu mengungkapkan karunia hidup ilahi. Roti dan anggur yang menjadi unsur pokok bagi kehidupan manusia dijadikan simbol yang menjamin kehidupan ilahi.[11]
Roti dan anggur merupakan lambang kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi. Roti itu adalah tubuh Kristus sendiri yang memberi kekuatan bagi orang yang percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus sendiri bersaksi, “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia" (Yoh 6:51). Dan pada perjamuan malam terakhir, Yesus  mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku” (Mat 26:26). Tindakan Yesus ini mau mengatakan kepada kita bahwa roti itu yang adalah Tubuh-Nya sendiri sekaligus menjadi makanan yang menjamin kehidupan ilahi. Dan barang siapa yang makan roti itu ia akan tinggal di dalam Kristus dan Kristus tinggal di dalam orang tersebut. Makan roti berarti bersatu dengan Kristus.[12]
            Selain roti, anggur juga merupakan simbol kehidupan karena memberi semangat hidup dan memuaskan dahaga. Dalam perjanjian baru, Yesus menyebut dirinya sebagai pohon anggur yang mampu memberikan kehidupan bahagia bagi orang yang percaya kepada-Nya. Ayat-ayat Kitab Suci mengatakan bahwa anggur adalah darah Kristus sendiri. Hal ini secara jelas kita pahami melalui kata-kata Yesus pada perjamuan malam terakhir Yesus, “Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat 26-27-28).
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa roti dan anggur merupakan lambang tubuh dan darah Kristus sendiri. Ia mengatakan, “Daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku benar-benar minuman” (Yoh 6:55). Tubuh dan Darah Kristus yang kita santap merupakan jaminan kehidupan kekal, kebangkitan pada akhir zaman, dan persatuan dengan Kristus. Yesus mengatakan, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:54). “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh 6:56). Dalam roti dan anggur yang telah dikonsekrasi, Yesus sungguh-sungguh hadir. Kehadiran-Nya sangat nyata (real presence). Dengan kata lain, roti dan anggur yang telah dikonsekrasi sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus sendiri.
            Seturut teladan Kristus, Gereja selalu menggunakan roti dan anggur untuk merayakan perjamuan Tuhan. Sesuai dengan tradisi seluruh Gereja, roti yang digunakan untuk perayaan Ekaristi harus dibuat dari gandum murni-tak beragi dan masih baru. Kebiasaan memakai roti tak beragi diketahui mulai sejak abad IX. Tidak seluruhnya jelas mengapa dibuat begitu, barangkali karena perjamuan Paska juga dirayakan dengan roti tak beragi.[13] Dalam perayaan Ekaristi, anggur harus alamiah dari buah anggur yang masih segar tanpa dicampur dengan bahan lain. Anggur yang akan diminum dicampuri sedikit dengan air. Alasannya supaya tidak terlalu “keras”, tidak terlalu tinggi kadar alkoholnya. Sekarang anggur sudah dibuat tidak keras. Jadi, pencampuran itu hanya mempunyai arti simbolis saja, lambang dari kemanusiaan dank ke-Alla-an Kristus yang terpadu.[14] menggunakan selain dari roti gandum tak beragi dan anggur murni, perayaan ekaristi itu tidak sah. Kesatuan fisik dengan Kristus dalam rupa roti dan anggur tidak menjamin keselamatan. Hanya sebagai ungkapan iman, Ekaristi mempunyai arti.[15] Transubstansi (perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus) mencapai puncaknya dalam Doa Syukur Agung. Konsekrasi terjadi karena kuasa Roh Kudus. Misalnya dalam Doa Syukur Agung I dikatakan: “Allah, semoga Roh-Mu menyucikan persembahan ini agar menjadi bagi kami tubuh dan darah putera-Mu terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus.”
4.   Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kristus sungguh-sungguh hadir dalam perayaan Ekaristi melalui pemimpin Ekaristi, umat yang berhimpun, Kitab Suci yang dibacakan, serta dalam rupa roti dan anggur. Itu berarti bahwa kehadiran Kristus dalam Ekaristi merupakan suatu kehadiran dalam bentuk simbol. Jadi, pemimpin Ekaristi, umat yang berhimpun, Kitab Suci yang dibacakan, serta roti dan anggur merupakan tanda kehadiran Kristus. Karena Kristus sungguh-sungguh hadir, maka umat hendaknya mengikuti perayaan tersebut dengan penuh hormat dan iman.


Daftar Pustaka

Banawiratma, JB (ed.), Ekaristi dan Kerja Sama Imam-Awam,Yogyakarta: Kanisius, 1986.

Crichton, JD., Perayaan Ekaristi, terj. Komisis Liturgi KWI, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Hayon, Nikolaus, Ekaristi Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda, Ende: Nusa Indah, 1986.

Jacobs, Tom,  Misteri Perayaan Ekaristi: Umat Bertanya Tom Jacobs Menjawab, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Komisis Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi, Ende: Nusa Indah, 2002.

Martasudjita, E., Pr, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah, dan Teologi liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1999.

______________., Tentang Ekaristi, Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Pareira, Berthold Anton, Peranan Kitab Suci Dalam Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Sacrosanctum Concilium (Konsili Suci), Seri Dokumen Gerejani No. 9,  terj. R. Hardawiryana, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990.




[1] Sacrosanctum Concilium(SC)  merupakan salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang secara khusus berbicara tentang Liturgi Suci. Dokumen ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Lihat Sacrosanctum Concilium (Konsili Suci), Seri Dokumen Gerejani No. 9,  terj. R. Hardawiryana, SJ, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990. Untuk selanjutnya hanya ditulis SC disusul dengan nomor yang dikutip.
[2] Uraian ini disarikan dari buku karya E. Martasudjita, Pr., Tentang Ekaristi, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 4-5.
[3] Tom Jacobs, Misteri Perayaan Ekaristi: Umat Bertanya Tom Jacobs Menjawab, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 57-57.
[4] Tom Jacobs, “Refleksi Teologis Tentang Ekaristi”, dalam JB. Banawiratma, SJ., Ekaristi dan Kerja Sama Imam-Awam, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hlm. 46.
[5] Komisis Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi, Ende: Nusa Indah, 2002, hlm. 36. Untuk selanjutnya hanya ditulis PUMR disusul dengan nomor yang dikutip. Misalnya PUMR 33.
[6] JD. Crichton, Perayaan Ekaristi, terj. Komisi Liturgi KWI, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 55-56.
[7] Uraian ini disarikan dari PUMR 34-35; 95-97. Bdk. juga dengan SC 30.
[8] Berthold Anton Pareira, O.Carm., Peranan Kitab Suci Dalam Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 14.
[9] Ibid., hlm. 17.
[10] E.Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi-Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm, 118.
[11] Ibid., hlm. 117. Bdk. Dr. Nikolaus Hayon, SVD, Ekaristi Perayaan Keselamatan Dalam Bentuk Tanda, Ende: Nusa Indah, 1986, hlm.  87.
[12] Dr. Nikolaus Hayon, SVD, Ibid.
[13] Tom Jacobs Menjawab, Op. Cit., hlm. 75.
[14] Ibid., hlm. 76.
[15] Tom Jacobs, “Refleksi Teologis Tentang Liturgi”, dalam JB. Banawiratma (ed.), Ekaristi dan Kerja Sama Imam-Awam,Yogyakarta: Kanisius, 1986, hlm. 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar