Kamis, 05 Mei 2011

Santo Montfort dan Kisah di Jembatan Cesson


Memaknai Kisah di Jembatan Cesson
Oleh: Richard Nsalu

            Kisah yang akan kita telusuri dan maknai ini diambil dari kisah hidup seorang kudus yang bernama Santo Louis Marie Grignion de Montfort (1673-1716). Pada usia sembilan belas tahun, tepatnya ketika ia selesai menempuh pendidikan menengah di Kolese Thomas Becket di kota Rennes, kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Saint Sulpice di kota Paris atas sumbangan keuangan yang tak terduga sebelumnya. Pada usianya yang masih sangat muda, ia harus mengucapkan selamat tinggal kepada orang tua, sanak keluarga, sahabat-kenalan, kampung halaman, dan harta kekayaan duniawi untuk meraih cita-citanya di kota Paris. Ia pergi hanya ditemani oleh pamannya yang bernama Alain Robert dan adiknya sendiri bernama Joseph-Pierre, namun keduanya hanya beberapa kilometer saja berjalan menemai dia karena dia ingin pergi sendirian. Tepatnya, di atas jembatan sungai Vilaine di Cesson (di pinggir kota Rennes) kedua kerabatnya itu pulang kembali. Di tempat inilah Montfort sangat merasakan dirinya sebagai seorang murid Kristus: tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara laki-laki, tanpa saudara perempuan, tidak memiliki apa-apa lagi…………Di sebelah jembatan, ia memberikan uang, pakaian, dan segala barang bawaan yang diberikan orangtuanya kepada sekelompok pengemis pertama yang ia jumpai. Bahkan selama beberapa saat ia bersama dengan seorang pengemis “bersembunyi” dalam hutan dan saling menukarkan pakaian di antara mereka. Montfort memakai pakaian pengemis tersebut, dan pengemis memakai pakaian bagusnya. Ia benar-benar telah meninggalkan segala-galanya. Dengan kegembiraan yang luar biasa ia melanjutkan perjalanannya ke Paris dan tiba di sana dengan pakaian compang camping seorang pengemis. Ia bahagia karena ia sangat merasakan kasih Allah yang melimpah atas dirinya. Ia sangat yakin bahwa Allah adalah Bapanya yang penuh kasih dan memberikan segala sesuatau yang dia butuhkan.
            Jarak dari Rennes ke Paris kira-kira 300 km, dan ia menempuhnya dengan berjalan kaki. Kepadanya ditawari seekor kuda untuk ditungganginya karena pada zaman itu kuda merupakan alat transportasi yang umum dipakai oleh masyarakat, tetapi dengan tegas dia menolak pemberian tersebut. Pengembaraannya bagaikan sebuah madah pujian kepada kemiskinan, suatu luapan kegembiraan dan cinta untuk cita-cita yang seluruhnya menguasai dirinya. Ia memperoleh makanan dan minuman melalui celah-celah pintu rumah orang di pinggir jalan menuju Paris. Kegelapan malam dilewatinya di bangsal para petani, di pendopo gereja, bahkan di bawah kolong jembatan. Diterpa badai dan diguyur hujan, ia tiba di Paris dengan pakaian lusuh seorang pengemis.
            Sekilas pandang kita melihat peristiwa yang dialami oleh St. Montfort di jembatan Cesson boleh jadi tanggapan kita biasa-biasa saja. Bagi kebanyakan orang tentu dapat melakukannya dengan sangat mudah. Memang Montfort melakukannya dengan sangat sederhana, namun mengandung makna yang sangat mendalam, yaitu radikalitas semangat sikap lepas bebas dalam mengikuti Tuhan Yesus dan cintanya yang luar biasa mendalam terhadap orang miskin. Keradikalitasannya itu terletak pada penyerahan dirinya yang total hanya kepada Allah. Hanya Allah atau Deo Soli, merupakan motto hidup yang dipilih oleh St. Montfort. Motto ini sungguh-sungguh mewarnai dan menggema dalam kehidupannya. Dengan perkataan lain, selama hidupnya ia hanya bersandar pada Allah. Seluruh hidup dan karyanya bergantung sepenuhnya pada kasih Allah. Karena ia sungguh-sungguh percaya pada Allah, maka dengan hati terbuka ia memberikan segala pemberian orangtuanya kepada orang miskin yang ia temukan.  
            Pengalaman akan kasih Allah yang dialami oleh St. Montfort lambat laun menjadi kekayaan hatinya. Ketika ia berjalan ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya di sana, ia dengan berani menolak segala pemberian pamannya bahkan pemberian ibunya sendiri ia berikan kepada para pengemis yang dia temukan. Lebih lagi, ia menukarkan pakaian yang dikenakannya dengan pakaian salah seorang pengemis yang dia jumpai. St. Montfort meyakini bahwa Tuhan hadir dalam dan melalui orang miskin. Dengan kata lain, orang miskin merupakan transendensi diri Allah. Allah menjadi kelihatan dalam dan melalui diri orang-orang miskin. Ia meyakini dan mengikuti nasihat Injil, “Apa yang kamu lakukan terhadap orang yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku”.
            Sebagai orang kristinai kita pun dipanggil untuk menghayati sikap seperti yang dipraktekkan oleh St. Montfort. Kita dipanggil untuk hidup hanya bergantung pada Allah sebab Allah adalah Bapa kita yang selalu mencintai kita. Selain bergantung pada Allah, kita juga dipanggil untuk mengalami Allah dalam diri orang-orang miskin. Banyak orang di sekitar kita yang mengalami situasi miskin (miskin rohani, ekonomi, moral, pendidikan, dan sebagainya). Kita pun hendaknya hadir untuk menyapa mereka dan berpartisipasi dalam meringankan beban hidup yang mereka tanggung. Dengan kata lain, kita dipanggil untuk mencintai orang-orang miskin yang ada di sekitar kita.  

Gambar untuk ilustrasi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar