(Refleksi Etis-Teologis Atas Makna Kerja Manusia Menurut Laborem Exercens 25)
Oleh Richard Nsalu
1. Pengantar
Dalam Kej 1:27 dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri. Tujuannya adalah agar manusia berpartisipasi dalam karya-Nya. Partisipasi manusia dalam karya Allah menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Laborem Exercens[1] diungkapkan dengan bekerja. Dalam arti ini, manusia merupakan co-creator atau rekan kerja Allah. Paper ini secara khusus membahas tentang kerja manusia sebagai partisipasi dalam karya/kerja Allah. Selain itu, pape ini juga menelaah bagaimana peran manusia sebagai rekan kerja Allah dalam menyempurnakan dunia ini. Allah menyerahkan segala sesuatu yang telah Ia ciptakan kepada manusia supaya manusia bertanggungjawab atas semuanya itu (bdk. Kej 1:28-30). Bertanggungjawab di sini berarti bahwa manusia menggunakan dan memelihara semua yang telah diciptakan Allah dengan baik dan benar. Manusia tidak boleh menggunakannya secara sewenang-wenang. Dengan kata lain, manusia dipanggil untuk bekerja.
Penulis tertarik membahas tema ini karena melihat realitas manusia zaman ini yang cenderung tidak memaknai pekerjaannya dengan baik. Banyak orang bekerja asal-asalan saja atau orang cenderung mendewakan pekerjaannya tanpa melihat nilai rohani di baliknya. Selain itu, ada juga orang yang menyalahgunakan alam sehingga ia mengeksplorasi alam ini dengan sewenang-wenang. Manusia menganggap dirinya sebagai penguasa yang bebas menggunakan alam ini termasuk mengeksploitasinya. Paper ini terdiri dari pengantar, membaca dan memahami isi ensiklik LE 25, nilai-nilai yang terkandung dalam ensiklik LE 25, relevansi dan kesimpulan.
2. Membaca dan Memahami Isi Ensiklik LE 25
Sebelum kita memahami isi ensiklik LE 25, terlebih dahulu kita akan melihat apa latar belakang munculnya ensiklik ini secara umum. Ensiklik LE, merupakan ensiklik ketiga yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memperingati usia kesembilan puluh tahun ensiklik Rerum Novarum (1891) yang ditulis oleh Paus Leo XIII. Munculnya LE merupakan hasil dari keprihatinan Gereja atas nasib manusia pekerja yang martabatnya diabaikan oleh para pemilik modal. Manusia dilihat sebagai budak sehingga diperlakukan sebebas-bebasnya termasuk membelenggunya. Selain itu, manusia juga menganggap pekerjaannya sebagai dewa sehingga mengabaikan aktivitas-aktivitas yang lain dari manusia itu sendiri. Dalam LE, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kedudukan kerja pada pusat masalah sosial. Ia mengatakan bahwa manusia adalah subyek kerja yang benar. Kerja mengungkapkan martabat manusia dan menambah martabat manusia.[2] Dalam LE juga, Paus mendukung hak-hak buruh untuk berserikat. Sepintas kilas ensiklik LE mengangkat keprihatinan masalah-masalah industrialisasi pada zaman mutakhir ini. Namun sangat terasa bahwa ensiklik ini merefleksikan secara mendalam kerja manual.[3]
Selain itu, latar belakang munculnya LE erat kaitannya dengan pengalaman pribadi Paus Yohanes Paulus II.[4] Pertama, sejak masa muda Sri Paus mengenal pekerjaan kaum buruh pada banyak pertambangan di negeri asalnya (Polandia). Ia berangkat dari pengalaman konkret dan dari keadaan senasib sepenaggunggan. Ditegaskannya, “Dalam perjalanan hidup saya beruntung, lantaran rahmat Allah, menemukan kebenaran-kebenaran fundamental tentang kerja insani ini dalam pengalaman kerja tangan pribadi”. Kedua, Paus Yohanes Paulus II mengalami hidup di Polandia, di mana rezim komunis mempraktikkan struktur-struktur kerja kolektif. Dia menilai hasil-hasil dari sosialisai ekstrem sarana-sarana produksi dan menolak penyalahgunaan dari sentralisasi birokratis dan negara.
Ensiklik LE ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dan dikeluarkan di Roma pada 14 September 1979. Ensiklik ini terdiri dari 27 artikel yang secara umum memuat lima pokok persoalan. Pertama, pendahuluan/introduksi (1-3). Kedua, kerja dan pribadi manusia (4-10). Ketiga, konflik antara buruh dan majikan/pemilik modal (11-15). Keempat, hak-hak kaum buruh (16-23). Kelima, spiritualitas kerja (24-27).
Penulis ensiklik LE (Paus Yohanes Paulus II) memberi judul LE 25, “Kerja sebagai partisipasi dalam kegiatan Sang Pencipta”. Judul ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa dengan dan melalui kerja manusia berpartisipasi dalam karya Allah. Dasar biblis dari LE 25 adalah kisah penciptaan dalam Kej 1:1-2:3. Allah telah bekerja selama enam hari untuk menciptakan alam semesta dan segala isinya dan pada hari ketujuh Ia istirahat. Dalam kisah penciptaan tersebut (khususnya Kej 1:1-31), Allah menyatakan keistimewaan manusia dibandingkan dengan segala ciptaan yang lain. Segala ciptaan yang lain diciptakan oleh Allah dengan kualitas “baik” (Kej 1:4.10.12.18.21.25), sementara manusia diciptakan dengan kualitas “sangat baik” (Kej 1:31). Hal ini mau mengatakan bahwa dari sekian ciptaan-Nya, manusia-lah yang paling istimewa dan sempurna. Keistimewaan dan kesempurnaannya terletak pada Allah menciptakan manusia seturut citra-Nya sendiri (Kej 1:26-27) dan menghembuskan nafas-Nya sendiri ke dalam hidung manusia (Kej 2:7) serta dilengkapi dengan akal budi yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.
Dalam LE 25 dikatakan bahwa manusia yang diciptakan menurut citra Allah, melalui kerjanya berperan serta dalam kegiatan Sang Pencipta, dan dalam batas-batas daya-kemampuan manusiawinya sendiri ia dalam arti tertentu tetap mengembangkan kegiatan itu, serta menyempurnakannya sementara ia makin maju dalam menggali sumber-sumber daya serta nilai-nilai yang terdapat dalam seluruh alam ciptaan. Pernyataan di atas mengandung arti bahwa selain sebagai partisipasi dalam kerja Allah, kerja manusia juga bertujuan untuk mengembangkan potensi dirinya dan untuk menggunakan alam semesta dengan baik dan benar. Dengan kata lain, manusia dipanggil untuk menggunakan kemampuan dan potensi dirinya dalam rangka menggali sumber daya alam yang terkandung di dalamnya demi tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Selain itu, LE 25 juga mengatakan bahwa gambaran kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian dalam arti tertentu merupakan “Injil kerja” yang pertama, sebab menunjukkan letak martabat kerja. Di sana dikatakan bahwa manusia harus meneladan Allah penciptanya dalam bekerja, sebab hanya manusia-lah yang mempunyai ciri unik menyerupai Allah. Manusia harus berpola pada Allah dalam bekerja maupun dalam beristirahat, sebab Allah sendiri bermaksud menyajikan kegiatan-Nya menciptakan alam dalam bentuk kerja dan istirahat. Manusia dipanggil untuk bekerja membangun dunia ciptaan Allah.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kerja manusia merupakan kelanjutan dari kerja Allah. Maka seperti Allah, manusia juga hendaknya bekerja dengan sepenuh hati. Dalam bekerja, manusia seharusnya mempunyai kesempatan untuk beristirahat dengan tujuan tidak hanya untuk memulihkan tenaganya setelah bekerja, tetapi juga untuk memuliakan Allah yang menciptakannya.
3. Makna Kerja Manusia Dalam Terang LE 25
3.1. Definisi Kerja
Secara umum LE 25 mengandung makna bahwa kerja manusia merupakan bentuk partisipasi dalam kerja Allah. Allah memanggil manusia untuk bekerja bersama-Nya dan melanjutkan karya-Nya. Artinya manusia dipanggil menjadi co-cretaor Allah (rekan kerja Allah) dalam mencipta dan menata dunia ini. Pertanyaan untuk kita elaborasi lebih lanjut adalah apa itu kerja (bekerja)? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab sebab tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai kerja.
Menurut Kamus Filsafat[5], kerja atau bekerja adalah sesuatu yang pasti sebagai aktivitas manusia. Binatang-binatang dan mesin-mesin bekerja (bergerak) tetapi sejauh manusia mengarahkan dan menggerakkan mereka. Binatang-binatang mempunyai andil dalam kerja manusia, sementara mesin-mesin hanya mengambil bagian dalam gerakan yang dilakukan dan dalam penguasaan terhadap kekuatan materi kasar. Selain itu, pekerjaan manusia juga bisa dipahami sebagai setiap kegiatan yang diarahkan kepada suatu kemajuan manusia, entah rohani, jasmani atau pun kegiatan yang mau mempertahankan suatu kekayaan yang sudah diperoleh. Bila kegiatan itu hanya bermaksud memulihkan tenaga, meskipun kebetulan juga menghasilkan suatu kekayaan, kegiatan itu adalah “permainan” dan bukan “pekerjaan”. Kegiatan itu tidak pertama-tama diarahkan kepada kemajuan dan pertahanannya.[6] Dari definisi di atas terlihat jelas bahwa manusia merupakan subyek kerja, sementara binatang dan mesin adalah obyek kerja. Sebagai subyek kerja, keberadaan binatang-binatang dan mesin-mesin bertujuan untuk mendukung pekerjaan manusia. Akan tetapi, manusia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada obyek kerja tersebut. Selain itu, kerja memerlukan pikiran/pemikiran. Kerja harus diarahkan dengan sadar demi tercapainya suatu tujuan yang dicita-citakan. Oleh karena itu, kerja memerlukan pikiran. Kerja merupakan aktivitas khas manusia karena hanya manusia yang mempunyai pikiran dan bisa berpikir. Orang yang tidur atau orang gila tidak bisa melakukan pekerjaan meskipun kelihatannya ia bertindak seperti orang yang sadar dan waras. Manusia yang bekerja memperlihatkan bahwa manusia itu melebihi semua makhluk yang lainnya sebab hanya dia-lah yang bisa bekerja sementara binatang-binatang dan mesin-mesin hanya bisa bergerak sejauh manusia menggerakkannya.
Manusia hendaknya bekerja berdasarkan kesadaran dan dorongan hatinya. Artinya bahwa pekerjaan manusia akan kehilangan maknanya jika dipaksakan dari luar (orang lain). Kerja paksa belaka merendahkan martabat manusia sederajat dengan binatang.[7] Kegiatan manusia baru disebut kerja apabila keluar dari dalam diri manusia sendiri sebagai makhluk yang berakal budi. Karena itu, semua jenis pekerjaan sama saja martabat dan nilainya. Tidak ada pekerjaan yang kurang atau yang lebih mulia dan luhur. Yang membedakan pekerjaan manusia adalah dari sudut hasil (penghasilan) yang diperoleh manusia. Semua pekerjaan mempunyai martabat dan nilai yang sama karena dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, hasil kerja seseorang tidak boleh dinikmati hanya oleh dirinya sendiri. Orang-orang yang mempunyai harta milik dan hasil kerja yang lebih harus dibagikan kepada orang lain yang berkekurangan. Di sinilah letak nilai sosialitas dari kerja manusia.
3.2. Manusia Sebagai Co-Creator Allah
Dalam teologi Katolik, Allah dipahami sebagai Pencipta (Sang Creator) segala sesuatu. Kisah Penciptaan dalam Kej 1:1-2:3 memperlihatkan kepada kita bagaimana Allah bekerja dalam menciptakan alam semesta dan segala isinya. Ia bekerja selama enam hari dan pada hari ketujuh Ia istirahat. Kisah penciptaan inilah yang menjadi dasar dari LE 25. Dalam LE 25, kita akan menemukan gagasan penting bahwa kerja manusia merupakan bentuk partisipasi dalam karya atau kerja Allah. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri dengan tujuan untuk berpartisipasi dalam karya-Nya. Hal ini didasarkan pada Kej 1:27-28, yang mana Allah memanggil manusia untuk menjadi rekan kerja dalam karya-Nya selanjutnya. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Kedua ayat di atas mau mengatakan bahwa manusia adalah wakil Allah di dunia ini. Ia menjadi pengurus dan pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan. Bahkan ia dipanggil untuk menjadi “Allah” bagi ciptaan-ciptaan yang lain. Allah seolah-olah membutuhkan manusia untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (Kej 2:6), sehingga ia diciptakan sebagai pembantu-Nya (Sir 38:34). Allah mempercayakan alam semesta dan segala isinya kepada manusia agar manusia menguasai dan menaklukkannya (bdk. Kej 1:28-30). Namun, kekuasaan yang dilaksanakan manusia atas alam semesta dan segalanya bukanlah sesuatu yang lalim atau sewenang-wenang, tetapi ia harus “mengusahakannya dan memeliharanya” dengan baik dan bertanggungjawab (Kej 2:15). Alam semesta dan segalanya isinya tidak diciptakan oleh manusia, tetapi telah diterimanya sebagai suatu karunia berharga yang ditempatkan Sang Pencipta di bawah tanggung jawabnya. Mengusahakan bumi berarti tidak membiarkan dan menelantarkannya; menaklukkannya berarti memelihara seperti seorang raja arif yang mengayomi rakyatnya dan seorang gembala yang menjaga kawanan dombanya.[8] Manusia melaksanakan amanat ini dengan menggali harta kekayaan dan menyingkapkan kekuatan-kekuatan tersembunyi di dalam alam, dan mendayagunakannya demi penciptaan teknik-teknik serta peradaban baru. Perjuangan untuk semakin menguasai dunia dengan sempurna pada akhirnya bermuara dalam keberlanjutan karya Ilahi di dalam penciptaan. Allah berkehendak untuk mengembangkan dan menuntaskan rencana ilahi-Nya melalui kerja sama manusia.[9] Manusia bukanlah melulu pemelihara atas ciptaan, tetapi juga sebagai rekan kerja Allah dalam suatu dunia yang terus menerus berevolusi.[10]
Allah bekerja tidak hanya selama enam hari ketika Ia menciptakan alam semesta dan segala isinya (Kej 1:1-2:3), tetapi terus berlanjut hingga hari ini. Hal ini ditegaskan oleh Yesus Kristus sendiri. Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh 5:17). Allah bekerja hingga sekarang ini dalam dan melalui pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, sebab Ia telah menyerahkan alam semesta dan segala isinya kepada manusia untuk dikuasai dan ditakluk (Kej 1:28-30). Dalam hal ini manusia adalah Co-Creator Allah (manusia adalah rekan kerja Allah, Sang Pencipta).
Apapun bentuk kerja manusia, semuanya merupakan partisipasi dalam kerja Allah. Pekerjaan seorang tukang dalam sebuah bangunan, kerja perbaikan jalan, belajar, memasak, dan sebagainya merupakan wujud dari partisipasi manusia dalam karya Sang Pencipta. Dalam Gaudium et Spes[11] artikel 34 dikatakan, “Di manapun laki-laki dan perempuan menunaikan tugas-tugasnya dengan setia, memang dengan tepat mereka berpandangan bahwa mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”. Seturut rencana Sang Pencipta, realitas tercipta yang adalah baik di dalam dirinya, ada untuk digunakan manusia.[12] Lebih lanjut dikatakan bahwa kerja merupakan Kerja adalah bagian dari keadaan asli manusia dan mendahului kejatuhannya ke dalam dosa; karenanya kerja bukan merupakan hukuman atau kutukan. Kerja menjadi berat dan menyengsarakan karena dosa Adam dan Hawa, yang memutuskan relasi kepercayaan dan keselarasan mereka dengan Allah (bdk. Kej 3:6-8). Namun sekalipun dosa kedua nenek moyang kita itu, rencana Sang Pencipta, makna makhluk-makhluk ciptaan-Nya– dan di antaranya manusia yang dipanggil untuk mengusahakan dan memelihara ciptaan – tetap tidak berubah.[13]
Dengan bekerja-meskipun dengan susah payah-manusia ikut serta dan ikut ambil bagian dalam karya Allah sebagai Pencipta semesta alam. Melalui pekerjaannya, manusia ikut menangani dunia dan memuliakan Allah. Artinya dalam dunia, manusia semakin memperlihatkan kebesaran, kekuasaan dan kebijaksanaan Allah Sang Pencipta.[14] Nilai pekerjaan manusia terletak bukan pertama-tama dalam apa yang dikerjakan atau apa yang dihasilkannya. Sebaliknya, nilai dasar pekerjaannya terletak pada pelakunya, yaitu manusia yang berpribadi. Dengan bekerja, manusia mengembangkan, menyempurnakan, dan memanusiakan dirinya sendiri. Karena itu, tujuan utama pekerjaan manusia adalah dirinya sendiri. Nilai dasar pekerjaan manusia tidak boleh dan--pada pokoknya--tidak dapat dicabut oleh siapapun juga. Pekerjaan manusia tidak dapat direndahkan menjadi barang dagangan belaka atau sarana belaka untuk sesuatu yang lain dari manusia sendiri.[15]
Manusia yang bekerja berada dalam tata penyelamatan yang tidak dapat dipisahkan dari tata penciptaan. Karena itu, manusia yang bekerja juga adalah manusia yang dikuduskan oleh Allah. Dengan bekerja manusia tidak hanya menyempurnakan dirinya sebagai makhluk Tuhan saja, tetapi juga dengan bekerja ia menyucikan dirinya sebagai manusia yang dikuduskan. Pekerjaan manusia tidak hanya mempunyai nilai manusiawi-keduniaan dan nilai etis saja, tetapi juga mempunyai nilai keagamaan dan merupakan sarana penyelamatan.[16] Kerja mewakili satu matra hakiki dari keberadaan manusia sebagai keterlibatan tidak saja dalam tindakan penciptaan tetapi juga tindakan penebusan. Orang-orang yang menerima tanpa mengeluh keras dan sulitnya kerja dalam persatuan dengan Yesus, dalam arti tertentu mereka bekerja sama dengan Sang Putra Allah dalam karya penebusan-Nya, dan menunjukkan bahwa mereka adalah para murid Kristus seraya memikul salib-Nya setiap hari, dalam kegiatan baginya mereka dipanggil untuk melaksanakannya. Seturut perspektif ini, kerja dapat dipandang sebagai sebuah sarana pengudusan serta menerangi aneka realitas duniawi dengan Roh Kristus. Dipahami dengan cara ini, kerja merupakan sebuah ungkapan tentang kemanusiaan yang seutuhnya, dalam kondisi historisnya dan orientasi eskatologisnya. Tindakan manusia yang bebas dan bertanggung jawab menyingkapkan relasinya yang mesra dengan Sang Pencipta dan daya kreatif-Nya. Pada saat yang sama, tindakan itu adalah bantuan sehari-hari dalam menempuri penodaan dosa, bahkan ketika hanya oleh keringat di keningnya manusia bisa memperoleh nafkahnya.[17]
- Relevansi
Selain itu, kerja juga merupakan suatu aktivitas yang khas dari manusia yang tidak boleh mematikan semua aktivitas lain dari manusia itu. Sebaliknya harus ada keseimbangan dan kesesuaian dengan aneka macam aktivitas yang lainnya. Hal ini didasarkan pada realitas bahwa yang dialami oleh manusia zaman ini yaitu pemujaan pekerjaan. Banyak orang yang meliahat kerja atau pekerjaan sebagai segalanya sehingga kurang bahkan mengabaikan kegiatan yang lainnya. Manusia menjadi sibuk dengan pekerjaannya. Jika demikian, besar kemungkinan akan terjadi bahwa manusia menghalalkan segala cara (baik positif mapun negatif) demi tercapainya kesuksesan dalam pekerjaan. Kerja mempunyai suatu tempat terhormat karena kerja merupakan sumber berbagai kekayaan, atau setidak-tidaknya syarat bagi suatu kehidupan yang layak, dan pada prinsipnya merupakan sebuah sarana yang efektif melawan kemiskinan (bdk. Ams 10:4). Namun orang tidak boleh jatuh ke dalam godaan menjadikan kerja sebagai berhala, sebab makna kehidupan yang paling tinggi dan menentukan tidak boleh dicari dan ditemukan dalam kerja. Kerja itu hakiki, namun Allah itulah – dan bukan kerja – yang merupakan sumber kehidupan serta tujuan akhir manusia.[18]
Kedua, dalam bekerja manusia hendaknya meniru kerja Allah. Artinya ada waktu untuk bekerja dan ada waktu untuk istirahat. Kerja manusia haruslah dibarengi dengan hidup batin dan penyerahan diri kepada Allah. Manusia bekerja tidak hanya dalam aktivitas fisik dan otak, tetapi juga dalam arti rohani yaitu dalam iman dan doa. Hal ini telah diperintahkan oleh Allah kepada manusia. “Enam hari lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, tetapi pada hari ketujuh haruslah engkau berhenti” (Kej 23:12). Dengan melarang bekerja pada hari Sabat, peraturan ini sebenarnya mengkhususkan hari tersebut hanya untuk Yahwe saja. Pembatasan tersebut bermaksud menunjukkan penghargaan yang lain terhadap kegiatan manusia. Manusia tidak boleh terlalu terlibat dalam pekerjaannya. Keterlibatannya yang keterlaluan itu dapat menyebabkan dia lupa akan pengabdiannya yang langsung kepada Tuhan.[19] Dalam alam Perjanjian Lama, istirahat pada hari Sabat dihubungkan dengan perbudakan bangsa Israel di Mesir. Perayaan hari sabat mau mengingatkan umat Allah akan campur tangan Allah dalam perbudakan itu. Allah membebaskan Israel dari perbudakan itu. Karena itu, hari sabat merupakan hari peringatan akan karya penyelamatan Allah tersebut.
Kegiatan manusia bukanlah hal yang paling penting. Itulah yang mau dikatakan oleh perayaan hari Sabat. Pekerjaan manusia di dunia ini jangan sampai membuat manusia lupa akan kasih dan karya Allah. Manusia boleh dan harus bekerja serta menikmati hasil pekerjaannya (Pkh 5:18; Mzm 128:2), tetapi usaha dan kegiatannya sendiri tidak menjamin hasil pekerjaannya. Hasil pekerjaannya selalu merupakan anugerah Tuhan (Pkh 2:24; 3:13; Mzm 127:1). Puncak ajaran alkitabiah tentang kerja adalah perintah istirahat Sabat. Bagi manusia, betapa pun ia terikat pada keniscayaan untuk bekerja, istirahat ini membuka kemungkinan bagi suatu kebebasan yang lebih penuh, yakni Sabat abadi (bdk. Ibr 4:9-10). Istirahat memberi manusia peluang untuk mengingat dan mengalami karya Allah secara baru, mulai dari Penciptaan hingga Penebusan, mengakui keduanya sebagai pekerjaannya sendiri (bdk. Ef 2:10), dan bersyukur atas hidup dan nafkah mereka kepada-Nya yang adalah Pemiliknya.[20]
Ketiga, melalui dan dengan bekerja manusia semakin serupa dengan Allah. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri (Kej 1:27-28) dengan tujuan agar manusia mengerjakan, melengkapi, dan menyempurnakan alam ciptaan Allah dengan baik dan bijaksana. Manusia yang bekerja berarti ia berpartisipasi dalam karya Allah. Dengan bertanggungjawab atas alam semesta dan segala isinya, manusia mencerminkan kebaikan dan kebesaran Tuhan. Manusia menjadi serupa dengan Allah. Dengan bekerja, manusia menciptakan di dalam jiwa dan raganya suatu “kebudayaan” yang memuliakan Allah. Dan kebudayaan itu tidak menjauhkan manusia dari Tuhan, tetapi mendekatkannya pada Sang Pencipta. Pada titik ini, kerja manusia mengandung unsur memuliakan Allah.
5. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerja manusia merupakan wujud atau bentuk partisipasi dalam kerja atau karya Allah. “Sabda pewahyuan Allah secara mendalam ditandai oleh kebenaran fundamental bahwa manusia, dengan diciptakan menurut gambar dan wajah Allah, berpartisipasi dalam kegiatan Sang Pencipta melalui pekerjaannya dan bahwa, dalam batas-batas kemampuan manusiawinya, manusia dalam arti tertentu melanjutkan perkembangan kegiatan penciptaan tersebut dan menyempurnakannya melalui kemajuan manusia dalam penemuan sumber-sumber dan nilai-nilai yang terkandung dalam keseluruhan ciptaan” (LE 25).
Melalui kutipan di atas, Paus Yohanes Paulus II mau memberikan penegasan antara kerja manusia dan martabatnya sebagai citra Allah. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan. Sebagai citra diri Sang Pencipta, manusia diundang berpartisipasi dalam proses penciptaan. Partisipasi tersebut diwujudkan manusia melalui kerja. Dengan demikian, kerja adalah “sarana” bagi manusia untuk ambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Hal pertama yang perlu kita ingat dalam mewacanakan kerja adalah manusianya. Manusia memiliki martabat sebagai citra Allah. Karena itu, kerja perlu dilihat dalam konteks partisipasi manusia sebagai citra Allah dalam karya penciptaan Penciptanya.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1996.
Groenen, Cletus dan Alex Lanur. Bekerja Sebagai Karunia: Beberapa Pemikiran Mengenai Pekerjaan Manusia. Yogyakarta dan Ende: Kanisius dan Nusa Indah. 1985.
Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang “Gaudium et Spes”, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.
Kristiyanto, Eddy. Diskursus Sosial Gereja Sejak Paus Leo XIII. Malang: Dioma. 2003.
Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Laborem Exercens, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.
Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani-Jilid IV. Terj. Alex Armanjaya, Yosef Maria Florisan, George Kirchberger. Maumere: Penerbit Ledalero. 1997.
Schultheis, Michael J. SJ, Ed. P. DeBerri SJ, Peter Henriot SJ. Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja Terj. F. Budi Hardiman dan P. Prasetyohadi. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung. Maumere: Penerbit Ledalero. 1999.
[1] Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens (Dengan Bekerja), dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus (terj. R. Hardawiryana), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 711-714. Sebutan Laborem Excerns untuk kutipan selanjutnya disingkat LE
[2] Michael J. Schultheis SJ, Ed P. DeBerri SJ, Peter Henriot SJ, Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja (terj. F. Budi Hardiman dan P. Prasetyohadi), Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 96.
[3] Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja Sejak Paus Leo XIII, Malang: Dioma, 2003, hlm. 167.
[4] Ibid., hlm. 173.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 450-451.
[6] Cletus Groenen dan Alex Lanur, Bekerja Sebagai Karunia: Beberapa Pemikiran Mengenai Pekerjaan Manusia, Yogyakarta dan Ende: Kanisius dan Nusa Indah, 1985, hlm. 28.
[7] Ibid., hlm. 29.
[8] Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja (terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung), Maumere: Penerbit Ledalero, 1999, hlm. 179-180. Pernyataan ini terdapat dalam nomor 255. Selanjutnya disingkat Kompendium ASG disusul dengan nomor yang dikutip.
[9] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani-Jilid IV (terj. Alex Armanjaya, Yosef Maria Florisan, George Kirchberger), Maumere: Penerbit Ledalero, 1997, hlm. 153.
[10] Ibid.
[11] Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang “Gaudium et Spes”, dalam dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus (terj. R. Hardawiryana), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 309-310.
[12] Kompendium ASG 255.
[13] Ibid.
[14] Cletus Groenen dan Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 23.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 24.
[17] Kompendium ASG 263.
[18] Kompendium ASG 257.
[19] Cletus Groenen dan Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 11.
[20] Kompendium ASG 258.
Okay...
BalasHapusThis may sound kind of weird, maybe even a little "out there..."
HOW would you like it if you could just push "Play" to listen to a short, "magical tone"...
And suddenly attract MORE MONEY into your LIFE?
And I'm really talking about BIG MONEY, even MILLIONS of DOLLARS!
Sound too EASY? Think it's IMPOSSIBLE?
Well, Let me tell you the news...
Usually the greatest blessings life has to offer are the EASIEST!
Honestly, I will provide you with PROOF by letting you PLAY a REAL "magical wealth building tone" I developed...
You just push "Play" and watch how money starts piling up around you... it starts right away...
CLICK here now to experience this marvelous "Miracle Wealth Building TONE" - it's my gift to you!