Selasa, 17 Mei 2011

Dialog Antar-Agama


Perwujudan Nostra Aetate dalam Gereja Indonesia

I. Pengantar
            Gereja universal telah merancang perspektif baru dalam membangun relasi dengan agama-agama lain melalui momentum Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menjadi salah satu momen penting kebangkitan semangat beragama inklusif dalam membangun persaudaraan universal dalam abad modern. Dekrit penting dalam Konsili Vatikan II yang menandai sikap Gereja terhadap agama-agama lain di dunia adalah Nostrae Aetate. Dekrit ini secara khusus berbicara tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen. Gereja dalam dalam dekrit Nostra Aetate menandaskan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkan sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang”.[1]
Melalui dekrit Nostra Aetate Gereja telah menggagas babak baru sejarah pengakuan realitas pluralisme religius dan ingin membuka diri terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-kristen. Dalam konteks Gereja Indonesia, hal yang paling mendesak adalah bagaimana kita membangun jembatan yang kokoh untuk menghubungkan “perbedaan” antar agama menuju persaudaraan nasional yang kokoh. Salah satu gagasan paling relevan adalah melalui dialog antar-umat beragama. Melalui dialog ini kiranya dapat bermanfaat bagi pemulihan dan perwujudan hubungan antar agama yang kerapkali dilanda oleh berbagai konflik.

2. Realitas Konflik Antar-Agama di Indonesia
            Bangsa Indonesia memiliki kemajemukan dari segi agama, dan kemajemukan ini telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia Indonesia. Akan tetapi, kemajemukan agama ini kerapkali membawa situasi yang paradoks. Di satu pihak, kemajemukan agama mengharuskan umat beragama untuk menghargai pemeluk agama-agama lain dalam kedudukan yang setara. Dan di lain pihak, kemajemukan agama itu justru menimbulkan hubungan yang tidak harmonis yang berujung pada konflik. Dewasa ini, ada banyak persoalan krusial yang bermunculan di tengah kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dalam konteks negara kita, konflik yang diwarnai oleh tindakan kerusuhan dan kekerasan menjadi suatu kenyataan yang lumrah. Masih tercatat dalam benak kita pelbagai kerusuhan seperti kerusuhan Kupang, Ambon, Sambas, insiden Monas 1 Juni 2008, pembakaran dan perusakan tempat ibadah jemaat Ahmadiah, penyerangan dan Penghancuran Gereja Kristen Pasundan di Citeureup-Bandung, demo menuntut penutupan Gereja Katolik Damai Kristus, penutupan paksa akses jalan Sekolah Sang Timur-Ciledug, dan lain-lain. Konflik-konflik tersebut telah memakan korban cukup banyak baik materi maupun jiwa manusia. Pelbagai kekerasan juga telah menimbulkan penderitaan psikologis seperti shock, takut, cemas, perasaan traumatis yang menghinggapi masyarakat.
            Menghadapi pelbagai konflik di atas, tepat bila diupayakan terselenggaranya dialog antar umat beragama yang dimulai antara para tokoh-tokoh agama dengan pemerintah maupun tokoh-tokoh agama dengan masyarakat. Mengapa dialog sangat ditekankan dalam membina kerukunan di antara umat beragama? Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi pelegitimasian adanya dialog antara umat beragama. Beberapa alasan itu antara lain; Pertama, dialog merupakan titik simpul dari semua pembahasan tentang membangun kerukunan di antara umat beragama. Dialog menjadi media pertukaran ide, informasi, dan pengetahuan tentang agama satu sama lain. Dialog juga membantu kita dalam proses transaksi nilai-nilai religius yang mengacu pada pembentukan dan penumbuhan semangat bersama. Melalui dialog, kita diajak untuk melihat kehidupan dalam wawasan yang lebih luas, perspektif yang semakin variatif, dan persoalan-persoalan yang mendesak yang mesti harus diatasi.[2] Kedua, dengan dialog, umat kristiani dan umat lain diundang untuk memperdalam komitmen religiusnya agar menanggapi panggilan personalnya dengan semakin tulus dan hormat akan yang lain.[3]

3. Tantangan  dan Peluang dalam Dialog Antar Agama
            Upaya umat kristiani untuk membagun dialog dengan umat beragama lain bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Umat kristiani tentu saja dihadapkan pada pelbagai hambatan yang memungkinkan dialog tidak dapat berjalan dengan baik. Hambatan-hambatan itu bisa jadi berupa prasangka, penolakan atau dendam akan konflik masa silam yang belum tersembuhkan dari lubuk hati umat beragama lain. Misalnya antara umat katolik dan muslim. Dari kalangan Katolik masih tersimpan prasangka  atau perasaan takut ketika mereka hidup di daerah mayoritas umat beragama muslim dan diperlakukan dengan tidak adil. Sedangakan dari kalangan Islam, Mohhammad Fajrul Fallaakh memberikan kesaksian bahwa “dikalangan kaum muslim sendiri terdapat keraguan terhadap manfaat dialog tersebut, misalnya karena penilaian bahwa dialog dapat mengganggu iman, memungkinkan pelaku dialog menganut sinkretisme dalam berteologi...”.[4] 
Meski pun banyak hambatan yang ditemukan oleh umat kristiani dalam upayanya membangun dialog dengan umat beragama lain, setidaknya ada beberapa peluang yang memungkinkan dialog terjadi. Pertama kesadaran Gereja Katolik akan sejarah kelam yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia. Sejarah kelam tersebut berupa superioritas Gereja Katolik yang menempatkan diri sebagai satu-satunya agama yang membawa keselamatan. Selain itu, konflik antara Kristen dan islam secara besar-besaran seperti Perang Salib. Kedua sejarah kelam ini membawa umat kristiani kepada suatu kesadaran baru dengan mengajak umat Kristiani maupun umat beragama lain untuk melupakan masa lampau yang suram karena dianggap sebagai beban sejarah yang merusakkan hubungan yang terbuka dan saling menerima.[5] Kedua, antara agama katolik dan agama-agama yang lainnya mengandung unsur-unsur kebenaran tertentu yang perlu diyakini dan diterima oleh penganut agama manapun.  Selain itu, antara agama katolik dan agama-agama yang lainnya memiliki kesamaan sejumlah unsur pokok. Misalnya antara Islam dan Katolik. Keduanya merupakan agama Ibrahim, mewarisi tradisi ethical monotheism, merupakan agama wahyu dengan rasul dan kitab suci masing-masing, sedangkan dengan rasul dan kitab suci itu menempatkan keduanya sebagai agama historis.[6]
4. Syarat-syarat Dialog
            Apa pun metode, bentuk, wadah, subjek, tujuan dari “dialog”, sesungguhnya bukan persoalan sepele. Kita perlu memiliki sejumlah syarat agar dialog bisa menyentuh maksud paling dalam yaitu kerukunan hidup. Beberapa syarat penting sebelum kita memasuki arena dialog antara lain: Pertama, keterbukaan. Artinya masing-masing peserta dengan terbuka mendengarkan kebenaran-kebenaran iman dari pihak lain seraya menyampaikan kebenaran-kebenaran yang diyakininya dengan terbuka.
Kedua, dialog harus didasarkan pada kebebasan inklusif, dalam arti penerimaan yang jujur dan dewasa terhadap agama yang lainnya.[7]  Proses dialog yang jujur akan memunculkan agama yang umatnya mampu menertibkan soal-soal rawan yang bersentuhan dengan sentimen agama.
Ketiga, dialog harus mengarahkan setiap orang untuk menjalin semangat persaudaraan yang sejati yang terungkap dalam kehidupan praktis seperti saling berkunjung, saling memberi salam dan memberikan ”parsel’’ pada setiap hari raya keagamaan. Dalam konteks ini, dialog itu harus mengatasi keberadaanya.

5. Bentuk-Bentuk Dialog
            Dialog dengan umat beragama lain secara khusus di Indonesia sangat relevan di mana sampai dewasa ini pelbagai pertentangan maupun kekerasan yang bernuansa “agama’’ masih sangat kuat mewarnai situasi hidup dan tingkah laku masyarakat Indonesia. Dialog yang hendak dibangun dalam membina dan membangun semangat kerukunan hidup beragama bukan sebatas pada diskusi tetapi saling mendengarkan, saling memberi dan menerima, mencari dan belajar untuk semakin memahami, memperdalam dan memperkaya satu sama lain. Sidang Para Uskup se-Asia(FABC) menyebutkan bahwa dialog antarumat beragama, mempunyai empat dimensi perwujudan,[8] yakni:
            Pertama, dialog kehidupan. Setiap penganut agama berjuang untuk membangun hidup bersama sebagai tetangga secara damai dan dengan saling membantu dalam mengatasi pelbagai persoalan. Segala kesusahan dan kesulitan masyarakat adalah bagian dari kehidupan Gereja. Karena itu, umat Kristiani terpanggil untuk membantu masyarakat keluar dari persoalannya bahkan lebih dari itu kita perlu membangun persaudaraan sejati. Bangsa Indonesia sedang dilanda krisis. Krisis yang paling terasa dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia adalah krisis ekonomi yang menyebabkan masyarakat kecil kekurangan sandang, pangan dan papan. Dalam kondisi seperti ini, Bapak Uskup mengajak para Imam dan segenap umatnya untuk terlibat meringankan beban penderitaan masyarakat kecil. Maka melalui kerja sama dengan masyarakat, umat Kristiani baik pada tingkat Keuskupan, Paroki, maupun lingkungan menggalakkan berbagai kegiatan sosial seperti kegiatan membagi sembako, pengobatan gratis maupun mengirimkan bantuan untuk korban bencana alam. Kegiatan-kegiatan sosial seperti ini merupakan salah satu upaya Gereja Katolik Indonesia untuk terus membangun relasi yang harmonis dengan pemeluk beragama lain.
            Kedua, dialog tindakan. Setiap pemeluk agama bekerja sama untuk mengusahakan keadilan dan perdamaian. Salah satu bentuk kerja sama konkret antara Gereja Katolik dengan pemuka agama lainnnya setidaknya bisa dilihat dari usaha-usaha untuk menyerukan perdamaian. Usaha perdamaian ini terungkap dalam surat Gembala yang dibuat oleh KWI dan PGI tahun 2001 dengan tema, “Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain” (Bdk. 1 Tes 5:13b) dan kemudian diulangi pada surat Gembala Prapaska 2002 oleh KWI dengan tema, “Rekonsiliasi Membawa Damai”.[9]
            Ketiga, dialog pengalaman Religius. Dialog antara orang yang berakar secara mendalam dalam tradisi religius mereka dan berusaha untuk mensharingkan pengalaman religius itu untuk saling memperkaya. Salah satu wujud konkret Gereja Katolik dalam mensharingkan pengalaman iman kepada umat lain adalah melalui kegiatan Natal bersama. Kegiatan ini secara implisit memperlihatkan upaya umat Kristini untuk menyebarkan iman dan tradisi religiusnya kepada umat lain melalui acara/kegiatan yang mereka tampilkan. Secara personal, umat Kristiani juga memperlihatkan imannya kepada umat lain dengan cara menghargai setiap praktek religius agama lain. Bentuk penghargaan itu terletak pada kesadaran umat Kristiani untuk menghargai umat lain yang sedang menjalankan ibadatnya atau memberikan karya amal misalnya memberikan sedekah kepada tetangga yang berkekurangan.
            Keempat, dialog teologis. Ahli bertukar pikiran untuk mengerti dengan lebih baik warisan rohani dan nilai-nilai dari tradisi mereka masing-masing. Dialog teologis pertama-tama bukan untuk mencari kebenaran teologis dari suatu agama tetapi untuk saling memperkaya. Dengan bertukar pikiran dengan para tokoh agama lain, umat kristiani dapat menerima unsur baik dan positif dari warisan rohani agama lain yang bisa dimasukan ke dalam penghayatan iman Kristen sebagai unsur baru yang memperkaya. Di Negara Indonesia terdapat beberapa tokoh terkenal yang mencoba untuk menggali kekayaan teologi maupun warisan spiritual dari masing-masing agama. Mereka adalah almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya, Romo I.Sandiawan, Romo Ismartono, Romo Benny Susetyo[10] dan dari kalangan Islam adalah almarhum Gus Dur.

6. Penutup
            Gereja terpanggil untuk ikut mengusahakan pembinaan hidup beragama yang lebih terbuka dan berwawasan luas, guna mengatasi ketegangan/konflik antar umat beragama. Bentuk dialog dan kerja sama dengan motivasi keinginan untuk saling memperkaya, kerja sama untuk membangun masyarakat baru yang lebih sejahtera, lebih manusiawi harus tetap diperjuangkan. Konsili mengajak anggota Gereja untuk masuk ke dalam dialog dengan pemeluk-pemeluk agama lain. Ajakan tersebut ditemukan dalam dekrit Nostra Aetate yang mengatakan:
“Gereja mendorong para putranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama  lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosial budaya, yang terdapat pada mereka”.[11] 

            Dalam dekrit tersebut tersirat makna bahwa umat kristiani sebagai anggota Gereja dipanggil untuk berdialog. Semangat dialog, kerja sama, serta kesaksian hidup di tengah penganut agama lain dapat diungkapkan dengan membina kerukunan di antara umat beragama, menghargai setiap perbedaan, saling mengasihi dan saling memahami, menciptakan perdamaian, membantu orang yang menderita tanpa memandang latar belakang agama. Dengan menampilkan sikap dialog, kerja sama dan kesaksian hidup maka segala bentuk fundamentalisme dan persaingan tidak sehat dapat teratasi dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Benedanto, Ignatius Haryanto Pax Terbuka Terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif. Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Dekrit Nostra Aetate Art. 2 (Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen),  dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Terj. R.Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi Dan Penerangan KWI-Obor, 1993

Falaakh, Mohammad Fajrul.  Gereja Katolik Sebagai Pesaing dalam Kebajikan   dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II:Refleksi dan Tantangannya. Yogyakarta: Kanisius 1997.

Regus, Max Republik Sialan: Memburu Kejernihan di Tengah Belantara Kerancuan. Maumere: Ledalero. 2003.

Widiyono, A. Nugroho “Dialog Antar-Agama dengan Immersion: Dari Perjumpaan Menuju Kerjasama”, dalam Orientasi Baru (Jurnal Filsafat dan Teologi Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma) Vol. 15, No.1-2, Okober 2006.
















  






















































[1]Dekrit Nostra Aetate Art. 2 (Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen),  dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Terj. R.Hardawiryana, (Jakarta: Dokumentasi Dan Penerangan KWI-Obor, 1993). Selanjutnya untuk kutipan dekrit ini disingkat NA.
[2]Max Regus, Republik Sialan: Memburu Kejernihan di Tengah Belantara Kerancuan, (Maumere:Ledalero, 2003), hlm. 213.
[3]A. Nugroho Widiyono, “Dialog Antar-Agama dengan Immersion: Dari Perjumpaan Menuju Kerjasama”, dalam Orientasi Baru (Jurnal Filsafat dan Teologi Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Vol. 15, No.1-2, Okober 2006, hlm. 22.
[4]Mohammad Fajrul Falaakh, “Gereja Katolik Sebagai Pesaing dalam Kebajikan” dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II:Refleksi dan Tantangannya, (Yogyakarta: Kanisius 1997), hlm. 365.
[5]Bdk. NA 3.
[6]Mohammad Fajrul Falaakh, Op.Cit., hlm. 366.
[7]Max Regus, Op.Cit., hlm. 197.
[8]Ignatius Haryanto Pax Benedanto, Terbuka Terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 25-26.
[9] Ibid, hlm. 65-66.
[10] Ignatius Haryanto Pax Benedanto, Op.Cit., hlm. 36.
[11] NA 2.

Sabtu, 14 Mei 2011

Kodrat Manusia Menurut Mensius

Kodrat Manusia
Menurut Mensius ()
Oleh: Richard Nsalu

1. Pengantar
        Diskursus seputar manusia selalu memancarkan daya tarik bagi kebanyakan orang khususnya para filosof. Sesungguhnya diskursus seputar manusia adalah sebuah persoalan yang bisa kita jawab sekaligus jawaban yang kita berikan itu belum tuntas untuk melukiskan siapakah manusia itu sesungguhnya. Dalam dirinya tersimpan sebuah sebuah teka-teki yang sulit ditebak. Salah satu persoalan yang didiskusikan dalam diskursus tersebut adalah tentang kodrat manusia. Ada yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu baik, ada yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu buruk, ada pula yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu bukan baik dan bukan buruk (netral), dan sebagainya. Terlepas dari “kemisteriusan” diskursus seputar manusia, dalam paper ini penulis memfokuskan diri pada pendapat Mensius tentang kodrat manusia. Menurutnya, kodrat manusia adalah baik. Paper ini akan menampilkan mengenai riwayat hidup Mensius, konsep Mensius tentang kodrat manusia, kritik Hsun Tzu terhadap Mensius, kebaikan kodrat manusia versus masalah kejahatan, dan kesimpulan.

2. Kehidupan Mensius
            Mensius (Men Chi) dilahirkan sekitar tahun 372 SM di kota Zou (sekarang berada di provinsi Shantung-Cina Timur). Ia dilahirkan menjelang akhir masa kekuasaan dinasti Chou. Saat itu negara Cina dilanda oleh perang saudara yang disebut dengan nama masa perang antar-negeri. Selain itu, masyarakat Cina zaman Mensius juga dilanda oleh dekadensi moral dan pergolakan politik dalam negeri. Para penguasa bertindak sewenang-wenang dalam mengatur negara sehingga masyarakat jatuh miskin. Nama aslinya adalah Meng Zi yang berarti Guru Meng. Nama Mensius dilatinkan oleh para filosof barat.             Ketika Mensius berusia tiga tahun ayahnya meninggal dunia. Kemudian ia dididik dan diajar tentang pendidikan moral oleh ibunya yang dikenal sebagai guru dan teladan kehidupan moral dalam masyarakat. Pendidikan moral yang diajarkan oleh ibunya membawanya menjadi seorang pribadi yang memiliki watak yang tegas dan bijaksana. Selain mendapat pendidikan dari ibunya, Mensius juga adalah murid Tzu Ssu. Tzu Ssu adalah murid sekaligus cucu dari Konfusius. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Mensius adalah murid dari Konfusius, karena pemikiran Tzu Ssu dipengaruhi/dilatarbelakangi oleh pemikiran Konfusius. Dibawah bimbingan Tzu Ssu Mensius dididik dan diajar dalam bidang moral dan intelektual. Melalui Tzu Ssu inilah Mensius berkenalan dengan pemikiran Konfusius yang merupakan figur sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat Cina zaman itu. Setelah Mensius memperoleh ilmu pengetahuan yang cukup luas ia pergi ke negeri Ch’i. Di sana ia menjadi pengajar sekaligus penasihat raja Hsuan. Raja Hsuan adalah figur pemimpin yang serakah karena ia sering menipu rakyatnya dan tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan ia menilai Mensius sebagai orang yang tidak bersentuhan langsung dengan realitas nyata.[1] Artinya orang yang hanya pandai berteori atau pandai berbicara tetapi tidak sesuai dengan tindakan dan perilaku konkret dalam hidup hariannya. Dari negeri Ch’i lalu pergi ke negeri Liang yang diperintah oleh raja Hui.
Tidak hanya pergi ke kedua negeri ini (Ch’i dan Liang), Mensius juga menghabiskan waktu kurang lebih 20 tahun untuk melakukan perjalanan ke berbagai negeri sambil mengajar orang-orang yang dijumpainya secara khusus para penguasa. Kepada para penguasa ia mengatakan, “…..Seorang penguasa tentu menjadi penguasa yang benar, di mana yang tua-tua dari rakyatnya berpakaian sutra dan makan daging, serta rakyat pada umumnya tidak ada yang menderita kelaparan dan kedinginan karena memiliki makanan dan pakaian yang secukupnya”.[2]
Setelah selama 20 tahun mengembara hampir di seluruh wilayah Cina Mensius kemudian kembali ke negeri asalnya (Zou). Tahun-tahun menjelang akhir hidupnya, Mensius dan para muridnya menafsir dan mememberi komentar dua kitab klasik (Kitab Sejarah dan Kitab Syair) yang sangat berpengaruh pada saat itu. Tidak hanya itu, Mensius juga menafsir ulang ajaran Konfusius dan dipadukan dengan kedua kitab klasik di atas (Kitab Sejarah dan Kitab Syair)  kemudian menjadi bahan untuk penyusunan bukunya yang berjudul Mencius. Buku ini berisi tentang percakapan-percakapan Mensius dengan para penguasa yang ia jumpai dalam perjalanannya. Jadi, Mensius adalah nama seorang filosof sekaligus nama buku karangan filosof yang bersangkutan. Mensius meninggal dunia di kota kelahirannya (Zou) pada tahun 289 SM.
Di atas telah dikatakan bahwa Mensius adalah murid tidak langsung dari Konfusius. Akan tetapi, pemikiran Konfusius tidak serta merta diambil alih oleh Mensius. Konfusius tidak secara eksplisit berbicara tentang kodrat manusia: apakah baik atau buruk. Sementara Mensius dengan jelas mengatakan bahwa kodrat manusia itu adalah baik. Walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya juga memiliki persamaan yakni berbicara tentang moralitas manusia.

3. Kebaikan adalah Kodrat Manusia: Konsep Mensius
            Apa itu kodrat manusia? Kodrat manusia adalah sifat dasar/asali manusia yang dibawa sejak lahir hingga kematiannya. Sifat dasar inilah yang menentukan sikap dan perbuatan manusia. Sifat dasar ini juga harus dikembangkan secara optimal agar mampu menjadi manusia unggul/ideal. Jika sifat dasar ini tidak dikembangkan secara baik dan benar maka manusia akan jatuh dalam tindakan brutal dan jahat.
Dalam kehidupan masyarakat Cina zaman Mensius terdapat tiga konsep tentang kodrat manusia.[3] Pertama, kodrat manusia itu netral, artinya tidak baik ataupun tidak buruk/jahat. Kedua, kodrat manusia itu bisa baik ataupun bisa buruk. Artinya bahwa kebaikan dan keburukan ada pada manusia. Ketiga, sebagian melihat kodrat manusia adalah baik dan sebagian lagi melihat bahwa kodrat manusia itu buruk. Lalu, bagaimana konsep Mensius tentang kodrat manusia?
Menurut Mensius, kodrat manusia pada dasarnya adalah baik. Untuk membuktikan konsepnya, Mensius membuat satu contoh menarik. Misalnya: Jika seseorang tiba-tiba melihat seorang anak kecil hampir jatuh ke dalam sumur yang dalam, maka tanpa berpikir panjang orang tersebut akan segera merasa iba dan sedapat mungkin berusaha untuk membantu Si anak kecil tersebut agar tidak terperosok ke dalam sumur.[4] Rasa iba dan usaha untuk membantu Si kecil bukan untuk dilihat dan dipuji oleh orang tua atau orang yang melihat tindakan orang tersebut, tetapi semata-mata merupakan rasa iba yang bersumber pada kodratnya untuk membantu sesama. Rasa iba ini yang memancarkan rasa kemanusiaan dalam diri orang tersebut.
Untuk memperkuat tesisnya tentang kebaikan kodrat manusia Mensius menunjukkan empat unsur fundamental dan khas yang ada hanya pada manusia. Keempat unsur itu antara lain:[5] Pertama, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan simpati. Menurutnya, rasa simpati merupakan dasar dari rasa kemanusiaan (ren). Kedua, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan malu dan segan. Perasaan malu dan segan merupakan dasar dari kebenaran  dan keadilan (yi). Ketiga, setiap manusia di dalam dirinya memiliki perasaan rendah hati dan kerelaan. Perasaan rendah hati dan kerelaan merupakan dasar dari kesusilaan atau kesopanan (li). Keempat, setiap manusia mampu memahami dan membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Memahami apa yang benar dan apa yang salah merupakan dasar kebijaksanaan atau kearifan (zhi). Apabila keempat unsur fundamental ini (ren, yi, li dan zhi)  tidak ada dalam diri manusia, maka orang tersebut bukanlah manusia normal. Keempat unsur ini juga-lah yang membedakan manusia dari binatang karena binatang tidak memiliki keempat unsur ini.
Menurut Mensius, keempat unsur ini melekat dengan kuat dalam Hati (Hsin) manusia. Dengan kata lain, kebaikan dari kodrat manusia itu bersumber pada Hati. Orang yang bertindak menurut hatinya berarti bertindak menurut kodratnya. Tentang hal ini Mensius mengatakan, ”Kalau manusia dibiarkan bertindak mengikuti rasa hatinya yang terdalam, kodratnya akan berbuat yang baik. Inilah yang dimaksudkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Kalau dia menjadi jahat itu bukan salahnya keadaan kodrati yang dimilikinya. Rasa kasih kepada sesama (jen), rasa malu untuk berbuat jahat (yi), hormat dan menghargai sesama (li), dan tahu tahu baik dan buruk (zhi). Semuanya itu tidak dimasukkan diri kita dari luar, mereka itu ada bersama dalam kodrat manusia kita”.[6]
Hati dalam pandangan Mensius mempunyai dua fungsi, yaitu hati yang peka dan hati yang menalar.[7] Pertama, hati yang peka. Hati yang peka membuat manusia mempunyai rasa simpati dan belarasa terhadap penderitaan orang lain. Dan hati yang bersimpati bukanlah hak patten dari individu, tetapi juga menjadi landasan fundamental bagi pengembangan masyarakat. Artinya bahwa masyarakat yang beradab tidak hanya bergantung pada sistem politik dan hukum, tetapi juga pada kualitas hati manusia.
Kedua, hati yang menalar. Selain hati yang peka, hati juga mempunyai fungsi untuk menalar. Menalar yang dimaksudkan oleh Mensius tidaklah identik dengan berpikir secara matematis dan logis dengan menggunakan rumus-rumus tertentu, tetapi menalar dalam arti reflektif.  Jadi, hati yang menalar berarti hati yang reflektif. Hati yang reflektif mampu mengantar orang untuk menyadari dan masuk ke dalam kodratnya sebagai manusia. Refleksi itu membuat manusia mampu memilah dan memilih yang baik dari yang jahat. Karena itu, kehancuran seseorang atau suatu masyarakat bisa terjadi karena kurangnya merefleksi diri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia yang mencintai sesamanya dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bersama merupakan tindakan yang didasarkan pada kodratnya yang baik. Dan kebaikan kodrat manusia itu bersumber pada Hati (Hsin). Hati adalah pusat kemanusiaan, yang memberi warna khusus pada manusia dan membedakannya dari binatang yang tak berakal budi. Dari hati lahirlah kesadaran diri sebagai manusia (jen), kehendak untuk bersikap patut (li), berlaku benar dan adil (yi), mengetahui yang baik dan yang buruk (zhi).[8] Karena kodrat manusia itu baik, maka berbuat amal kepada sesama manusia merupakan sebuah keniscayaan pada manusia.
Mensius juga menyadari bahwa dalam kodrat manusia terdapat unsur lain yang dalam hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai unsur yang jahat atau yang baik, tetapi jika tidak dikontrol dengan baik dan benar dapat menimbulkan kejahatan. Unsur-unsur ini adalah nafsu naluriah untuk memiliki harta kekayaan berlimpah, nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk memiliki prestise dan prestasi, dan sebagainya. Menurut Mensius, unsur-unsur ini bukanlah kekhasan manusia karena hal ini juga terdapat pada binatang. Unsur-unsur ini menunjukkan aspek “kebinatangan” dalam kehidupan manusia, dan karenanya bila ditinjau secara ketat, tidak akan dipertimbangkan sebagai bagian dari sifat dasar manusia.[9]

4. Kritik Hsun Tzu Terhadap Mensius
        Hsun Tzu atau Xun Zi (298-238 SM) adalah salah seorang filosof yang menentang pendapat Mensius tentang kebaikan kodrat manusia. Menurutnya, kodrat manusia itu adalah jahat/buruk. Hsun Tzu mengatakan, “Kodrat manusia adalah buruk, apapun yang baik yang terdapat dalam dirinya merupakan akibat latihan yang diperolehnya. Manusia lahir dengan kesukaan akan keuntungan, jika ini diikuti maka mereka akan gemar bertengkar serta rakus, sama sekali tidak mengenal basa-basi dan tidak memperhatikan orang lain. Sejak lahir dipenuhi dengan sifat iri hati serta benci terhadap orang lain. Jika dikekang, mereka akan menjadi ganas dan keji, sama sekali tidak memiliki ketulusan dan itikad baik. Sejak lahir, mereka membawa serta kesenangan melalui mata dan telinga, kesukaan akan bunyi dan warna, jika ia mengikuti hal-hal tersebut maka ia menjadi resah dan tidak memperhatikan keadilan lagi”.[10]
            Pernyataan Hsun Tzu di atas secara jelas memperlihatkan bahwa kodrat manusia itu jahat. Supaya manusia menjadi baik harus dilatih dan diajar terus menerus oleh para guru yang bijaksana. Akan tetapi, kritik Hsun Tzu ini tidak bisa diterima. Jika jalan untuk mencapai manusia unggul/ideal diperoleh melalui latihan dan ajaran sang guru, lalu kepada siapa sang guru berguru dalam mencapai kesempurnaan hidupnya tersebut? Dari mana ia mendapat ajaran kebaikan itu? Yang jelas pengetahuan tentang kebaikan itu bersumber pada kebaikan kodrat manusia. Jika kodrat manusia itu jahat, maka sang guru tidak akan memperoleh kesempurnaan dalam hidupnya. Meskipun kodrat manusia itu baik, akan tetapi kodrat tersebut terus menerus diolah secara optimal agar mencapai manusia yang unggul. Karena kodrat yang baik itu bisa berubah menjadi jahat jika tidak diolah dengan baik dan benar.

5. Kebaikan Kodrat Manusia Versus Masalah Kejahatan
            Dalam kehidupan kita setiap hari hampir pasti kita sering menyaksikan atau mengalami tindakan/perbuatan jahat yang dilakukan oleh sesama kita atau bahkan kita sendiri pernah menjadi aktor tindakan kejahatan tersebut. Misalnya saja: pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, teroris, penipuan, dan sederetan tindakan kejahatan lainnya. Pertanyaan mendasar untuk kita eksplorasi lebih dalam berdasarkan konsep Mensius tentang kebaikan kodrat manusia adalah, “Jika kodrat manusia itu baik, mengapa tindakan kejahatan itu terjadi dan dilakukan oleh manusia?”
Menurut Mensius, kejahatan dalam dunia bukan berasal dari kodrat manusia tetapi dipengaruhi oleh tiga faktor.[11]  Pertama, kejahatan terjadi karena pengaruh lingkungan sosial. Setiap orang membawa kebaikan kodrati dalam hatinya, tetapi masyarakat yang jahat dapat memustahilkan seorang individu untuk hidup sesuai dengan kebaikan kodratinya. Dalam arti ini masyarakat sebenarnya turut bertanggungjawab atas tindakan jahat yang dilakukan oleh warganya. Kedua, kejahatan terjadi karena orang menyangkal atau menolak kebaikan kodrati yang ada dalam dirinya. Mereka yang memandang diri terlalu negatif dan tanpa berharga, tak akan peduli dengan kebaikan. Perbuatannya cenderung melawan kebaikan kodrati. Ketiga, kurang merefleksi diri. Semakin seseorang kurang merefleksi diri, semakin ia tidak mengenal kebaikan yang ada dalam dirinya. Karena ia jarang berefleksi, maka dirinya sendiri dan masyarakat akan hancur berantakan. Mensius mengatakan bahwa jika manusia membiarkan dirinya mengikuti kodratnya, maka manusia itu akan berbuat baik. Jika manusia berbuat jahat, maka hal itu bukanlah berasal dari kodratnya.[12]

6. Kesimpulan
          Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Mensius, kodrat manusia itu adalah baik. Kebaikan kodrat manusia bersumber pada hati (Hsin). Orang yang bertindak berdasarkan kodratnya tidak akan melakukan tindakan sesat/jahat. Karena hati adalah sumber dari kodrat manusia, maka fokus pendidikan terletak pada mencerdaskan hati. Pelaksanaan pendidikan hendaknya membawa orang tidak hanya pada kecerdasan intelektual, tetapi lebih pada kecerdasan hati. Selain itu, Mensius yakin bahwa kejahatan terjadi bukan karena kodrat manusia itu jahat tetapi karena  pengaruh lingkungan sosial,  orang menyangkal atau menolak kebaikan kodrati yang ada dalam dirinya, dan kurangnya refleksi diri setiap manusia. Untuk itu, manusia hendaknya mengolah diri sebaik-baiknya agar kodratnya yang baik mampu dipancarkan kepada sesama kita. Pendidikan yang mencerdaskan hati mampu menghilangkan kejahatan yang disebabkan oleh tindakan manusia.


Daftar Pustaka


Creel, H. G., Alam Pikiran Cina Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, Yogyakarta: Tiarawacana, 1990.

Collinson, Diane and Robert Wilkinson, Thirty-Five Oriental Philosophers, London and New York: Routledge, 1994.

Mencius, Mencius, trans. by D.C. Lau, London: Penguin Books, 1970.

Ohoitimur, Johanis, “Kodrat Manusia Menurut Mensius”, dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol.9 No. I Maret 2009.

Reksosusilo, Stanislaus, Sejarah Awal Filsafat Timur, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008.

Sujasan, Alexander Ignatius, “Kodrat Manusia Menurut Mencius (Men Chi)”, dalam FORUM No. 24 Thn. XXX 2002.

Yu-Lan, Fung, Sejarah Filsafat Cina, terj. John Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.





[1] Diane Collinson and Robert Wilkinson, Thirty-Five Oriental Philosophers, London and New York: Routledge, 1994, hlm. 131.

[2] Meng Tzu, IA-3, seperti yang dikutip oleh Romo Stanislaus Reksosusilo, CM dalam Sejarah Awal Filsafat Timur, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008, hlm. 54.

[3] Bdk. Mencius, Mencius., transl. by D.C. Lau, London: Penguin Books, 1970, VIa.3-6. Untuk selanjutnya ditulis hanya judul buku (Mencius) disusul dengan nomor tulisan.

[4] Bdk. Fung Yu-Lan, Sejarah Filsafat Cina, terj. John Rinaldi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 89.   Bdk. juga H.G. Creel, Alam Pikiran Cina Sejak Konfusius sampai Mao Ze Dong, Yogyakarta: Tiarawacana, 1990, hlm. 92.

[5] Ibid., Mencius IIa.6.

[6] Meng Tzu VI-6., Seperti yang dikutip oleh Romo Stanislaus Reksosusilo,CM, Op. Cit., hlm.52.

[7] Bdk. Johanis Ohoitimur, “Kodrat Manusia Menurut Mensius”, dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol.9 No. I Maret 2009, hlm 60-63.

[8] Mencius, Via.11., Lihat juga Johanis Ohoitimur, Ibid., hlm. 60.

[9] Fung Yu-Lan, Op. Cit., hlm. 89.

[10] H. G. Creel, Op. Cit., hlm. 130.

[11] John M. Koller and Patricia Joyce Koller, Asian Philosophi, Seperti yang dikutip oleh Johanis Ohoitimur, Op. Cit., hlm. 64.

[12] Bdk. Alexander Ignatius Sujasan, “Kodrat Manusia Menurut Mencius (Men Chi)”, dalam FORUM No. 24 Thn. XXX 2002, hlm. 17-17.

Makna Kerja

Bekerja Sebagai Partisipasi Manusia Dalam Karya Allah
(Refleksi Etis-Teologis Atas Makna Kerja Manusia Menurut Laborem Exercens 25)
Oleh Richard Nsalu

1.  Pengantar
          Dalam Kej 1:27 dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri. Tujuannya adalah agar manusia berpartisipasi dalam karya-Nya. Partisipasi manusia dalam karya Allah menurut Paus Yohanes Paulus II  dalam Laborem Exercens[1] diungkapkan dengan bekerja. Dalam arti ini, manusia merupakan co-creator atau rekan kerja Allah. Paper ini secara khusus membahas tentang kerja manusia sebagai partisipasi dalam karya/kerja Allah. Selain itu, pape ini juga menelaah bagaimana peran manusia sebagai rekan kerja Allah dalam menyempurnakan dunia ini. Allah menyerahkan segala sesuatu yang telah Ia ciptakan kepada manusia supaya manusia bertanggungjawab atas semuanya itu (bdk. Kej 1:28-30). Bertanggungjawab di sini berarti bahwa manusia menggunakan dan memelihara semua yang telah diciptakan Allah dengan baik dan benar. Manusia tidak boleh menggunakannya secara sewenang-wenang. Dengan kata lain, manusia dipanggil untuk bekerja.
Penulis tertarik membahas tema ini karena melihat realitas manusia zaman ini yang cenderung tidak memaknai pekerjaannya dengan baik. Banyak orang bekerja asal-asalan saja atau orang cenderung mendewakan pekerjaannya tanpa melihat nilai rohani di baliknya. Selain itu, ada juga orang yang menyalahgunakan alam sehingga ia mengeksplorasi alam ini dengan sewenang-wenang. Manusia menganggap dirinya sebagai penguasa yang bebas menggunakan alam ini termasuk mengeksploitasinya. Paper ini terdiri dari pengantar, membaca dan memahami isi ensiklik LE 25, nilai-nilai yang terkandung dalam ensiklik LE 25, relevansi dan kesimpulan.

2.  Membaca dan Memahami Isi Ensiklik LE  25
            Sebelum kita memahami isi ensiklik LE 25, terlebih dahulu kita akan melihat apa latar belakang munculnya ensiklik ini secara umum. Ensiklik LE, merupakan ensiklik ketiga yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dalam rangka memperingati usia kesembilan puluh tahun ensiklik Rerum Novarum (1891) yang ditulis oleh Paus Leo XIII. Munculnya LE merupakan hasil dari keprihatinan Gereja atas nasib manusia pekerja yang martabatnya diabaikan oleh para pemilik modal. Manusia dilihat sebagai budak sehingga diperlakukan sebebas-bebasnya termasuk membelenggunya. Selain itu, manusia juga menganggap pekerjaannya sebagai dewa sehingga mengabaikan aktivitas-aktivitas yang lain dari manusia itu sendiri. Dalam LE, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kedudukan kerja pada pusat masalah sosial. Ia mengatakan bahwa manusia adalah subyek kerja yang benar. Kerja mengungkapkan martabat manusia dan menambah martabat manusia.[2] Dalam LE juga, Paus mendukung hak-hak buruh untuk berserikat. Sepintas kilas ensiklik LE mengangkat keprihatinan masalah-masalah industrialisasi pada zaman mutakhir ini. Namun sangat terasa bahwa ensiklik ini merefleksikan secara mendalam kerja manual.[3]
Selain itu, latar belakang munculnya LE erat kaitannya dengan pengalaman pribadi Paus Yohanes Paulus II.[4] Pertama, sejak masa muda Sri Paus mengenal pekerjaan kaum buruh pada banyak pertambangan di negeri asalnya (Polandia). Ia berangkat dari pengalaman konkret dan dari keadaan senasib sepenaggunggan. Ditegaskannya, “Dalam perjalanan hidup saya beruntung, lantaran rahmat Allah, menemukan kebenaran-kebenaran fundamental tentang kerja insani ini dalam pengalaman kerja tangan pribadi”. Kedua, Paus Yohanes Paulus II mengalami hidup di Polandia, di mana rezim komunis mempraktikkan struktur-struktur kerja kolektif. Dia menilai hasil-hasil dari sosialisai ekstrem sarana-sarana produksi dan menolak penyalahgunaan dari sentralisasi birokratis dan negara.
Ensiklik LE ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II dan dikeluarkan di Roma pada 14 September 1979. Ensiklik ini terdiri dari 27 artikel yang secara umum memuat lima pokok persoalan. Pertama, pendahuluan/introduksi (1-3). Kedua, kerja dan pribadi manusia (4-10). Ketiga, konflik antara buruh dan majikan/pemilik modal (11-15). Keempat, hak-hak kaum buruh (16-23). Kelima, spiritualitas kerja (24-27).
Penulis ensiklik LE (Paus Yohanes Paulus II) memberi judul LE 25, “Kerja sebagai partisipasi dalam kegiatan Sang Pencipta”. Judul ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa dengan dan melalui kerja manusia berpartisipasi dalam karya Allah. Dasar biblis dari LE 25 adalah kisah penciptaan dalam Kej 1:1-2:3. Allah telah bekerja selama enam hari untuk menciptakan alam semesta dan segala isinya dan pada hari ketujuh Ia istirahat. Dalam kisah penciptaan tersebut (khususnya Kej 1:1-31), Allah menyatakan keistimewaan manusia dibandingkan dengan segala ciptaan yang lain. Segala ciptaan yang lain diciptakan oleh Allah dengan kualitas “baik” (Kej 1:4.10.12.18.21.25), sementara manusia diciptakan dengan kualitas “sangat baik” (Kej 1:31). Hal ini mau mengatakan bahwa dari sekian ciptaan-Nya, manusia-lah yang paling istimewa dan sempurna. Keistimewaan dan kesempurnaannya terletak pada Allah menciptakan manusia seturut citra-Nya sendiri (Kej 1:26-27) dan menghembuskan nafas-Nya sendiri ke dalam hidung manusia (Kej 2:7) serta dilengkapi dengan akal budi yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.
Dalam LE 25 dikatakan bahwa manusia yang diciptakan menurut citra Allah, melalui kerjanya berperan serta dalam kegiatan Sang Pencipta, dan dalam batas-batas daya-kemampuan manusiawinya sendiri ia dalam arti tertentu tetap mengembangkan kegiatan itu, serta menyempurnakannya sementara ia makin maju dalam menggali sumber-sumber daya serta nilai-nilai yang terdapat dalam seluruh alam ciptaan. Pernyataan di atas mengandung arti bahwa selain sebagai partisipasi dalam kerja Allah, kerja manusia juga bertujuan untuk mengembangkan potensi dirinya dan untuk menggunakan alam semesta dengan baik dan benar. Dengan kata lain, manusia dipanggil untuk menggunakan kemampuan dan potensi dirinya dalam rangka menggali sumber daya alam yang terkandung di dalamnya demi tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Selain itu, LE 25 juga mengatakan bahwa gambaran kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian dalam arti tertentu merupakan “Injil kerja” yang pertama, sebab menunjukkan letak martabat kerja. Di sana dikatakan bahwa manusia harus meneladan Allah penciptanya dalam bekerja, sebab hanya manusia-lah yang mempunyai ciri unik menyerupai Allah. Manusia harus berpola pada Allah dalam bekerja maupun dalam beristirahat, sebab Allah sendiri bermaksud menyajikan kegiatan-Nya menciptakan alam dalam bentuk kerja dan istirahat. Manusia dipanggil untuk bekerja membangun dunia ciptaan Allah.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kerja manusia merupakan kelanjutan dari kerja Allah. Maka seperti Allah, manusia juga hendaknya bekerja dengan sepenuh hati. Dalam bekerja, manusia seharusnya mempunyai kesempatan untuk beristirahat dengan tujuan tidak hanya untuk memulihkan tenaganya setelah bekerja, tetapi juga untuk memuliakan Allah yang menciptakannya.



3.   Makna Kerja Manusia Dalam Terang LE  25
3.1.       Definisi Kerja
Secara umum LE 25 mengandung makna bahwa kerja manusia merupakan bentuk partisipasi dalam kerja Allah. Allah memanggil manusia untuk bekerja bersama-Nya dan melanjutkan karya-Nya. Artinya manusia dipanggil menjadi co-cretaor Allah (rekan kerja Allah) dalam mencipta dan menata dunia ini. Pertanyaan untuk kita elaborasi lebih lanjut adalah apa itu kerja (bekerja)? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab sebab tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai kerja. 
Menurut Kamus Filsafat[5], kerja atau bekerja adalah sesuatu yang pasti sebagai aktivitas manusia. Binatang-binatang dan mesin-mesin bekerja (bergerak) tetapi sejauh manusia mengarahkan dan menggerakkan mereka. Binatang-binatang mempunyai andil dalam kerja manusia, sementara mesin-mesin hanya mengambil bagian dalam gerakan yang dilakukan dan dalam penguasaan terhadap kekuatan materi kasar. Selain itu, pekerjaan manusia juga bisa dipahami sebagai setiap kegiatan yang diarahkan kepada suatu kemajuan manusia, entah rohani, jasmani atau pun kegiatan yang mau mempertahankan suatu kekayaan yang sudah diperoleh. Bila kegiatan itu hanya bermaksud memulihkan tenaga, meskipun kebetulan juga menghasilkan suatu kekayaan, kegiatan itu adalah “permainan” dan bukan “pekerjaan”. Kegiatan itu tidak pertama-tama diarahkan kepada kemajuan dan pertahanannya.[6] Dari definisi di atas terlihat jelas bahwa manusia merupakan subyek kerja, sementara binatang dan mesin adalah obyek kerja. Sebagai subyek kerja, keberadaan binatang-binatang dan mesin-mesin bertujuan untuk mendukung pekerjaan manusia. Akan tetapi, manusia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada obyek kerja tersebut. Selain itu, kerja memerlukan pikiran/pemikiran. Kerja harus diarahkan dengan sadar demi tercapainya suatu tujuan yang dicita-citakan. Oleh karena itu, kerja memerlukan pikiran. Kerja merupakan aktivitas khas manusia karena hanya manusia yang mempunyai pikiran dan bisa berpikir. Orang yang tidur atau orang gila tidak bisa melakukan pekerjaan meskipun kelihatannya ia bertindak seperti orang yang sadar dan waras. Manusia yang bekerja memperlihatkan bahwa manusia itu melebihi semua makhluk yang lainnya sebab hanya dia-lah yang bisa bekerja sementara binatang-binatang dan mesin-mesin hanya bisa bergerak sejauh manusia menggerakkannya.
Manusia hendaknya bekerja berdasarkan kesadaran dan dorongan hatinya. Artinya bahwa pekerjaan manusia akan kehilangan maknanya jika dipaksakan dari luar (orang lain). Kerja paksa belaka merendahkan martabat manusia sederajat dengan binatang.[7] Kegiatan manusia baru disebut kerja apabila keluar dari dalam diri manusia sendiri sebagai makhluk yang berakal budi. Karena itu, semua jenis pekerjaan sama saja martabat dan nilainya. Tidak ada pekerjaan yang kurang atau yang lebih mulia dan luhur. Yang membedakan pekerjaan manusia adalah dari sudut hasil (penghasilan) yang diperoleh manusia. Semua pekerjaan mempunyai martabat dan nilai yang sama karena dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, hasil kerja seseorang tidak boleh dinikmati hanya oleh dirinya sendiri. Orang-orang yang mempunyai harta milik dan hasil kerja yang lebih harus dibagikan kepada orang lain yang berkekurangan. Di sinilah letak nilai sosialitas dari kerja manusia.
3.2.       Manusia Sebagai Co-Creator Allah
Dalam teologi Katolik, Allah dipahami sebagai Pencipta (Sang Creator) segala sesuatu. Kisah Penciptaan dalam Kej 1:1-2:3 memperlihatkan kepada kita bagaimana Allah bekerja dalam menciptakan alam semesta dan segala isinya. Ia bekerja selama enam hari dan pada hari ketujuh Ia istirahat. Kisah penciptaan inilah yang menjadi dasar dari LE 25. Dalam LE 25, kita akan menemukan gagasan penting bahwa kerja manusia merupakan bentuk partisipasi dalam karya atau kerja Allah. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri dengan tujuan untuk berpartisipasi dalam karya-Nya. Hal ini didasarkan pada Kej 1:27-28, yang mana Allah memanggil manusia untuk menjadi rekan kerja dalam karya-Nya selanjutnya. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Kedua ayat di atas mau mengatakan bahwa manusia adalah wakil Allah di dunia ini. Ia menjadi pengurus dan pekerja yang menyelenggarakan ciptaan Tuhan. Bahkan ia dipanggil untuk menjadi “Allah” bagi ciptaan-ciptaan yang lain. Allah seolah-olah membutuhkan manusia untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (Kej 2:6), sehingga ia diciptakan sebagai pembantu-Nya (Sir 38:34). Allah mempercayakan alam semesta dan segala isinya kepada manusia agar manusia menguasai dan menaklukkannya (bdk. Kej 1:28-30). Namun, kekuasaan yang dilaksanakan manusia atas alam semesta dan segalanya bukanlah sesuatu yang lalim atau sewenang-wenang, tetapi ia harus “mengusahakannya dan memeliharanya” dengan baik dan bertanggungjawab (Kej 2:15). Alam semesta dan segalanya isinya tidak diciptakan oleh manusia, tetapi telah diterimanya sebagai suatu karunia berharga yang ditempatkan Sang Pencipta di bawah tanggung jawabnya. Mengusahakan bumi berarti tidak membiarkan dan menelantarkannya; menaklukkannya berarti memelihara seperti seorang raja arif yang mengayomi rakyatnya dan seorang gembala yang menjaga kawanan dombanya.[8] Manusia melaksanakan amanat ini dengan menggali harta kekayaan dan menyingkapkan kekuatan-kekuatan tersembunyi di dalam alam, dan mendayagunakannya demi penciptaan teknik-teknik serta peradaban baru. Perjuangan untuk semakin menguasai dunia dengan sempurna pada akhirnya bermuara dalam keberlanjutan karya Ilahi di dalam penciptaan. Allah berkehendak untuk mengembangkan dan menuntaskan rencana ilahi-Nya melalui kerja sama manusia.[9] Manusia bukanlah melulu pemelihara atas ciptaan, tetapi juga sebagai rekan kerja Allah dalam suatu dunia yang terus menerus berevolusi.[10]
Allah bekerja tidak hanya selama enam hari ketika Ia menciptakan alam semesta dan segala isinya (Kej 1:1-2:3), tetapi terus berlanjut hingga hari ini. Hal ini ditegaskan oleh Yesus Kristus sendiri.  Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh 5:17). Allah bekerja hingga sekarang ini dalam dan melalui pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, sebab Ia telah menyerahkan alam semesta dan segala isinya kepada manusia untuk dikuasai dan ditakluk (Kej 1:28-30). Dalam hal ini manusia adalah Co-Creator Allah (manusia adalah rekan kerja Allah, Sang Pencipta).
Apapun bentuk kerja manusia, semuanya merupakan partisipasi dalam kerja Allah. Pekerjaan seorang tukang dalam sebuah bangunan, kerja perbaikan jalan, belajar, memasak, dan sebagainya merupakan wujud dari partisipasi manusia dalam karya Sang Pencipta. Dalam Gaudium et Spes[11] artikel 34 dikatakan, “Di manapun laki-laki dan perempuan menunaikan tugas-tugasnya dengan setia, memang dengan tepat mereka berpandangan bahwa mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah”. Seturut rencana Sang Pencipta, realitas tercipta yang adalah baik di dalam dirinya, ada untuk digunakan manusia.[12] Lebih lanjut dikatakan bahwa kerja merupakan Kerja adalah bagian dari keadaan asli manusia dan mendahului kejatuhannya ke dalam dosa; karenanya kerja bukan merupakan hukuman atau kutukan. Kerja menjadi berat dan menyengsarakan karena dosa Adam dan Hawa, yang memutuskan relasi kepercayaan dan keselarasan mereka dengan Allah (bdk. Kej 3:6-8). Namun sekalipun dosa kedua nenek moyang kita itu, rencana Sang Pencipta, makna makhluk-makhluk ciptaan-Nya– dan di antaranya manusia yang dipanggil untuk mengusahakan dan memelihara ciptaan – tetap tidak berubah.[13]
Dengan bekerja-meskipun dengan susah payah-manusia ikut serta dan ikut ambil bagian dalam karya Allah sebagai Pencipta semesta alam. Melalui pekerjaannya, manusia ikut menangani dunia dan memuliakan Allah. Artinya dalam dunia, manusia semakin memperlihatkan kebesaran, kekuasaan dan kebijaksanaan Allah Sang Pencipta.[14] Nilai pekerjaan manusia terletak bukan pertama-tama dalam apa yang dikerjakan atau apa yang dihasilkannya. Sebaliknya, nilai dasar pekerjaannya terletak pada pelakunya, yaitu manusia yang berpribadi. Dengan bekerja, manusia mengembangkan, menyempurnakan, dan memanusiakan dirinya sendiri. Karena itu, tujuan utama pekerjaan manusia adalah dirinya sendiri. Nilai dasar pekerjaan manusia tidak boleh dan--pada pokoknya--tidak dapat dicabut oleh siapapun juga. Pekerjaan manusia tidak dapat direndahkan menjadi barang dagangan belaka atau sarana belaka untuk sesuatu yang lain dari manusia sendiri.[15]
Manusia yang bekerja berada dalam tata penyelamatan yang tidak dapat dipisahkan dari tata penciptaan. Karena itu, manusia yang bekerja juga adalah manusia yang dikuduskan oleh Allah. Dengan bekerja manusia tidak hanya menyempurnakan dirinya sebagai makhluk Tuhan saja, tetapi juga dengan bekerja ia menyucikan dirinya sebagai manusia yang dikuduskan. Pekerjaan manusia tidak hanya mempunyai nilai manusiawi-keduniaan dan nilai etis saja, tetapi juga mempunyai nilai keagamaan dan merupakan sarana penyelamatan.[16] Kerja mewakili satu matra hakiki dari keberadaan manusia sebagai keterlibatan tidak saja dalam tindakan penciptaan tetapi juga tindakan penebusan. Orang-orang yang menerima tanpa mengeluh keras dan sulitnya kerja dalam persatuan dengan Yesus, dalam arti tertentu mereka bekerja sama dengan Sang Putra Allah dalam karya penebusan-Nya, dan menunjukkan bahwa mereka adalah para murid Kristus seraya memikul salib-Nya setiap hari, dalam kegiatan baginya mereka dipanggil untuk melaksanakannya. Seturut perspektif ini, kerja dapat dipandang sebagai sebuah sarana pengudusan serta menerangi aneka realitas duniawi dengan Roh Kristus. Dipahami dengan cara ini, kerja merupakan sebuah ungkapan tentang kemanusiaan yang seutuhnya, dalam kondisi historisnya dan orientasi eskatologisnya. Tindakan manusia yang bebas dan bertanggung jawab menyingkapkan relasinya yang mesra dengan Sang Pencipta dan daya kreatif-Nya. Pada saat yang sama, tindakan itu adalah bantuan sehari-hari dalam menempuri penodaan dosa, bahkan ketika hanya oleh keringat di keningnya manusia bisa memperoleh nafkahnya.[17]

  1. Relevansi
Dari uraian di atas, ada beberapa relevansi yang hemat penulis sangat bermakna bagi manusia zaman sekarang. Pertama, kerja atau bekerja merupakan bentuk partisipasi manusia dalam karya Allah. Allah telah bekerja menciptakan dunia dan segala isinya kemudian diserahkan kepada manusia untuk memeliharanya. Karya Allah untuk mencipta tidak berhenti setelah Ia menciptakan alam semesta dan segalanya selama enam hari (Kej 1:1-2:3), tetapi terus berlangsung hingga sekarang ini. Yesus Kristus mengatakan, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga”. Sekarang, karya/kerja Allah itu nyata dalam pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Sebab Allah telah mempercayakan alam semesta dan segala isinya kepada manusia agar manusia menaklukkan dan menguasainya (bdk. Kej 1:28-30). Manusia melaksanakan amanat ini dengan menggali harta kekayaan dan menyingkapkan kekuatan-kekuatan tersembunyi di dalam alam, dan mendayagunakannya demi penciptaan teknik-teknik serta peradaban baru. Perjuangan untuk semakin menguasai dunia dengan sempurna pada akhirnya bermuara dalam keberlanjutan karya ilahi di dalam penciptaan. Kerja manusia melayani kerja Pencipta. Allah berkehendak untuk mengembangkan dan menuntaskan rencana ilahi-Nya melalui kerja sama manusia. Manusia bukanlah melulu pemelihara atas ciptaan, tetapi juga sebagai rekan kerja Allah dalam suatu dunia yang terus menerus berevolusi. Dalam konteks inilah manusia disebut sebagai Co-Creator Allah (rekan kerja Sang Pencipta). Apapun bentuk kerja manusia, semuanya merupakan partisipasi dalam kerja Allah. Pekerjaan seorang tukang dalam sebuah bangunan, kerja perbaikan jalan, belajar, memasak, dan sebagainya merupakan wujud dari partisipasi manusia dalam karya Sang Pencipta.
Selain itu, kerja juga merupakan suatu aktivitas yang khas dari manusia yang tidak boleh mematikan semua aktivitas lain dari manusia itu. Sebaliknya harus ada keseimbangan dan kesesuaian dengan aneka macam aktivitas yang lainnya. Hal ini didasarkan pada realitas bahwa yang dialami oleh manusia zaman ini yaitu pemujaan pekerjaan. Banyak orang yang meliahat kerja atau pekerjaan sebagai segalanya sehingga kurang bahkan mengabaikan kegiatan yang lainnya. Manusia menjadi sibuk dengan pekerjaannya. Jika demikian, besar kemungkinan akan terjadi bahwa manusia menghalalkan segala cara (baik positif mapun negatif) demi tercapainya kesuksesan dalam pekerjaan. Kerja mempunyai suatu tempat terhormat karena kerja merupakan sumber berbagai kekayaan, atau setidak-tidaknya syarat bagi suatu kehidupan yang layak, dan pada prinsipnya merupakan sebuah sarana yang efektif melawan kemiskinan (bdk. Ams 10:4). Namun orang tidak boleh jatuh ke dalam godaan menjadikan kerja sebagai berhala, sebab makna kehidupan yang paling tinggi dan menentukan tidak boleh dicari dan ditemukan dalam kerja. Kerja itu hakiki, namun Allah itulah – dan bukan kerja – yang merupakan sumber kehidupan serta tujuan akhir manusia.[18]
Kedua, dalam bekerja manusia hendaknya meniru kerja Allah. Artinya ada waktu untuk bekerja dan ada waktu untuk istirahat. Kerja manusia haruslah dibarengi dengan hidup batin dan penyerahan diri kepada Allah. Manusia bekerja tidak hanya dalam aktivitas fisik dan otak, tetapi juga dalam arti rohani yaitu dalam iman dan doa. Hal ini telah diperintahkan oleh Allah kepada manusia. “Enam hari lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, tetapi pada hari ketujuh haruslah engkau berhenti” (Kej 23:12). Dengan melarang bekerja pada hari Sabat, peraturan ini sebenarnya mengkhususkan hari tersebut hanya untuk Yahwe saja. Pembatasan tersebut bermaksud menunjukkan penghargaan yang lain terhadap kegiatan manusia. Manusia tidak boleh terlalu terlibat dalam pekerjaannya. Keterlibatannya yang keterlaluan itu dapat menyebabkan dia lupa akan pengabdiannya yang langsung kepada Tuhan.[19] Dalam alam Perjanjian Lama, istirahat pada hari Sabat dihubungkan dengan perbudakan bangsa Israel di Mesir. Perayaan hari sabat mau mengingatkan umat Allah akan campur tangan Allah dalam perbudakan itu. Allah membebaskan Israel dari perbudakan itu. Karena itu, hari sabat merupakan hari peringatan akan karya penyelamatan Allah tersebut.
Kegiatan manusia bukanlah hal yang paling penting. Itulah yang mau dikatakan oleh perayaan hari Sabat. Pekerjaan manusia di dunia ini jangan sampai membuat manusia lupa akan kasih dan karya Allah. Manusia boleh dan harus bekerja serta menikmati hasil pekerjaannya (Pkh 5:18; Mzm 128:2), tetapi usaha dan kegiatannya sendiri tidak menjamin hasil pekerjaannya. Hasil pekerjaannya selalu merupakan anugerah Tuhan (Pkh 2:24; 3:13; Mzm 127:1). Puncak ajaran alkitabiah tentang kerja adalah perintah istirahat Sabat. Bagi manusia, betapa pun ia terikat pada keniscayaan untuk bekerja, istirahat ini membuka kemungkinan bagi suatu kebebasan yang lebih penuh, yakni Sabat abadi (bdk. Ibr 4:9-10). Istirahat memberi manusia peluang untuk mengingat dan mengalami karya Allah secara baru, mulai dari Penciptaan hingga Penebusan, mengakui keduanya sebagai pekerjaannya sendiri (bdk. Ef 2:10), dan bersyukur atas hidup dan nafkah mereka kepada-Nya yang adalah Pemiliknya.[20]
Ketiga, melalui dan dengan bekerja manusia semakin serupa dengan Allah. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri (Kej 1:27-28) dengan tujuan agar manusia mengerjakan, melengkapi, dan menyempurnakan alam ciptaan Allah dengan baik dan bijaksana. Manusia yang bekerja berarti ia berpartisipasi dalam karya Allah. Dengan bertanggungjawab atas alam semesta dan segala isinya, manusia mencerminkan kebaikan dan kebesaran Tuhan. Manusia menjadi serupa dengan Allah. Dengan bekerja, manusia menciptakan di dalam jiwa dan raganya suatu “kebudayaan” yang memuliakan Allah. Dan kebudayaan itu tidak menjauhkan manusia dari Tuhan, tetapi mendekatkannya pada Sang Pencipta. Pada titik ini, kerja manusia mengandung unsur memuliakan Allah.

5.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerja manusia merupakan wujud atau bentuk partisipasi dalam kerja atau karya Allah. “Sabda pewahyuan Allah secara mendalam ditandai oleh kebenaran fundamental bahwa manusia, dengan diciptakan menurut gambar dan wajah Allah, berpartisipasi dalam kegiatan Sang Pencipta melalui pekerjaannya dan bahwa, dalam batas-batas kemampuan manusiawinya, manusia dalam arti tertentu melanjutkan perkembangan kegiatan penciptaan tersebut dan menyempurnakannya melalui kemajuan manusia dalam penemuan sumber-sumber dan nilai-nilai yang terkandung dalam keseluruhan ciptaan” (LE 25).
Melalui kutipan di atas, Paus Yohanes Paulus II mau memberikan penegasan antara kerja manusia dan martabatnya sebagai citra Allah. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan. Sebagai citra diri Sang Pencipta, manusia diundang berpartisipasi dalam proses penciptaan. Partisipasi tersebut diwujudkan manusia melalui kerja. Dengan demikian, kerja adalah “sarana” bagi manusia untuk ambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Hal pertama yang perlu kita ingat dalam mewacanakan kerja adalah manusianya. Manusia memiliki martabat sebagai citra Allah. Karena itu, kerja perlu dilihat dalam konteks partisipasi manusia sebagai citra Allah dalam karya penciptaan Penciptanya.
Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1996.


Groenen, Cletus dan Alex Lanur. Bekerja Sebagai Karunia: Beberapa Pemikiran Mengenai Pekerjaan Manusia. Yogyakarta dan Ende: Kanisius dan Nusa Indah. 1985.


Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang “Gaudium et Spes”, dalam  Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.   


Kristiyanto, Eddy. Diskursus Sosial Gereja Sejak Paus Leo XIII. Malang: Dioma. 2003.


Paus Yohanes Paulus II. Ensiklik Laborem Exercens, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.   


Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani-Jilid IV. Terj. Alex Armanjaya, Yosef Maria Florisan, George Kirchberger. Maumere: Penerbit Ledalero. 1997.


Schultheis, Michael J. SJ, Ed. P. DeBerri SJ, Peter Henriot SJ. Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja Terj. F. Budi Hardiman dan P. Prasetyohadi. Yogyakarta: Kanisius. 1988.

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung. Maumere: Penerbit Ledalero. 1999.



[1] Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens (Dengan Bekerja), dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus (terj. R. Hardawiryana), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 711-714. Sebutan Laborem Excerns untuk kutipan selanjutnya disingkat LE

[2] Michael J. Schultheis SJ, Ed P. DeBerri SJ, Peter Henriot SJ, Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja (terj. F. Budi Hardiman dan P. Prasetyohadi), Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 96.

[3] Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja Sejak Paus Leo XIII, Malang: Dioma, 2003, hlm. 167.

[4] Ibid., hlm. 173.

[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 450-451.

[6] Cletus Groenen dan Alex Lanur, Bekerja Sebagai Karunia: Beberapa Pemikiran Mengenai Pekerjaan Manusia, Yogyakarta dan Ende: Kanisius dan Nusa Indah, 1985, hlm. 28.

[7] Ibid., hlm. 29.

[8] Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja (terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung), Maumere: Penerbit Ledalero, 1999, hlm. 179-180. Pernyataan ini terdapat dalam nomor 255. Selanjutnya disingkat Kompendium ASG disusul dengan nomor yang dikutip. 

[9] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani-Jilid IV (terj. Alex Armanjaya, Yosef Maria Florisan, George Kirchberger), Maumere: Penerbit Ledalero, 1997, hlm. 153.

[10] Ibid.

[11] Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang “Gaudium et Spes”, dalam dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus (terj. R. Hardawiryana), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 309-310.

[12] Kompendium ASG 255.

[13] Ibid.

[14] Cletus Groenen dan Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 23.

[15] Ibid.

[16] Ibid., hlm. 24.

[17] Kompendium ASG 263.

[18] Kompendium ASG 257.

[19] Cletus Groenen dan Alex Lanur, Op. Cit., hlm. 11.

[20] Kompendium ASG 258.